Seperti album foto itu

Sejak dulu saya bukan jenis orang yang layak tampil di depan kamera. Selalu ada yang mengusik pikiran,

"bagaimana rupa saya? bagaimana gaya saya?"


dan ini sudah berjalan bertahun-tahun. Bahkan di rumah pun, tak kan kau temui satu buah foto pun terpampang di dinding rumah. Entah sejak kapan tradisi ini berlangsung. Seingatku foto terakhir yang terpampang adalah foto jaman TK sewaktu festival 17 Agustus. Dengan dandanan baju adat lengkap dengan kumis palsu. Tapi semuanya sudah tersimpan rapi. Pernah sekali saya menemukan, semua album foto itu. Tersimpan rapi dalam laci di lemari Bapak. Berada di sudut tergelap tanpa pernah tersentuh lagi.



Padahal ada banyak cerita yang terekam dari perjalanan sebuah foto. Bagaimana rupa berganti, bagaimana senyum berubah. Memasuki masa SMP dan SMA tidak cukup banyak gambarku terekam dalam kutipan. Saat itu teknologi pun belum terlalu canggih. Sebuah roll film yang harus dikonversi dalam bentuk negatif dan kemudian diolah lagi menjadi selembar foto.

Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah memang di masa itu tidak cukup peristiwa yang terjadi? Sebenarnya banyak, cuma saya saja yang belum terlalu berani untuk mengekspresikan diri. Belum merasa nyaman dengan diri sendiri.

Sekarang semuanya terasa lebih nyaman. Ketika saya bisa menyimak perjalanan dan peristiwa yang terjadi dalam hidupku melalui selembar foto atau sepotong gambar. Berbagai tempat, beragam orang, dimana saya berinteraksi dengan mereka. Karena sekali lagi semuanya mewakili emosi dan memiliki ceritanya sendiri.

Satu keinginan saya adalah membuat satu frame besar dan menampilkan semua foto-foto itu. Dimana mungkin didalamnya akan kautemukan salah satu wajahmu disana. Karena itulah arti hidup, ketika kau mengisinya bersama teman semuanya terekam dalam satu gambar.

0 Comments to Seperti album foto itu