Perempuan dan identitasnya.

Ada satu hal menarik yang saya dapatkan ketika menjadi Mc dan mengikuti perayaan Hari Kartini yang dilakukan oleh ibu-ibu Dharma Wanita di kantor hari selasa dan rabu kemarin. Benarkah perempuan akan kehilangan identitasnya ketika sudah menikah?

Bukan, ini bukan pertanyaan sesinis dan sesarkastis yang seperti biasa saya lontarkan. Hanya sedikit perasaan tergelitik saja. Bahwa seorang perempuan akan kehilangan nama sebenarnya ketika telah menikah. Memangnya salah?

Satu moment menarik ketika saya menjadi Mc acara tersebut adalah ketika ingin mempersilahkan Ketua Dharma Wanita Persatuan untuk memberikan kata sambutannya. Sayapun bertanya pada salah satu wanita, nama lengkapnya siapa? Jawaban yang saya terima cukup sederhana namun cukup menohok. Tidak usah menggunakan nama aslinya. Cukup memanggilnya dengan Ny. Xyz saja. What?



Bukankah setiap orang sudah memiliki nama indahnya masing-masing? Walaupun seorang penyair pernah berkata apalah arti sebuah nama, tapi tetap saya menganggap bahwa nama adalah sebuah identitas yang penting. Dalam sebuah nama terdapat doa-doa para orangtua. Pemberian nama pun tidak sembarangan prosesnya. Butuh satu ekor kambing yang dikorbankan untuk perempuan, dan dua ekor untuk lelaki. Dan nama itu seenaknya mau diubah?

Entahlah, apakah memang ini hanya perasaan saya saja atau bukan. Tapi rasanya memang dimana-mana kita temui kenyataan seperti ini. Misalnya ketika ibu-ibu sedang ngumpul –dan bergosip- biasanya mereka memperkenalkan (atau diperkenalkan) seseorang dengan menyebut nama suami terlebih dahulu. Dan ini akhirnya terbawa sampai nanti. Bahwa seorang perempuan akan lebih akrab dipanggil sebagai Nyonya Andi, Ibu Budi dan sebagainya.

Apakah ini menjadi masalah? Entahlah. Karena saya sendiri belum pernah merasakan nama saya dipanggil memakai nama orang lain. Saya sendiri pasti merasa aneh. Apakah memang karena saya sendiri belum berkeluarga? Dan kenapa harus perempuan yang kehilangan identitasnya? Pernahkah seseorang dipanggil sebagai Tuan Rini atau Bapak Wati misalnya?

Belum lagi ketika seorang perempuan sudah memiliki anak. Namanya akan berubah lagi. Menjadi ibunya iqko, bunda Bila dan lain sebagainya. Apakah ini akah menjadi persaingan tersendiri? Diantara mereka yang lajang, yang biasanya masih dipanggil dengan nama asli, melawan mereka yang sudah menikah, (yang dipanggil dengan nama suami) dan mereka yang sudah menikah dan punya anak (yang dipanggil dengan nama anaknya).

Lantas bagaimana nanti ketika dia cerai (mudah-mudahan tidak!)? Ketika dia sudah dikenal dengan nama suaminya, dan sekarang harus jalan sendiri. Dia dipanggil apa?

Rasanya kehidupan pasca menikah pun seorang perempuan harus dikenal dengan nama aslinya. Tidak perduli nama suami atau nama istrinya nanti sebagus apa. Karena ini terkait mengenai identitas pribadi.

Tidak perlu rasanya mengembel-embeli diri dengan panggilan pasangan, karena toh semuanya punya kehidupan masing-masing? Ataukah saya yang salah melihatnya? Karena setelah menikah nantipun saya akan mengenalkan istri saya sebagai dirinya sendiri. Bukan dengan nama saya.

Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan, tetap pegang identitasmu, siapapun dirimu :)

Kisah si perenang amatiran (bagian 1)

Entah sudah berapa kali postingan mengenai saya yang berusaha menjadi sehat ada di blog ini. Mulai dari resolusi hidup sehat, niat untuk berolahraga, dan semuanya itu gagal! Tidak ada yang berhasil. Sampai angka timbangan sudah sampai ke angka 99++ dengan segala konsekuensinya.

Tapi kenyataan itu bertambah menyeramkan ketika saya masuk di kantor yang baru. Kenapa? Disini justru saya kebanyakan duduk. Bisa dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Belum lagi ditambah asupan makanan berlemak –kenapa semua makanan enak itu selalu membawa dosa?- di tiap rapat atau sesi makan gratis lainnya. Mau mati muda?

Saya pikir tidak. Kiprahku masih panjang. Masih banyak hal yang ingin saya lihat dan ingin saya lakukan. Tapi bagaimana caranya kalau gaya hidup seperti itu? Olahraga cuma seminggu sekali, sementara asupan racun bisa berlangsung tiap hari. Ini harus dihentikan!

Akhirnya setelah memikirkan berbagai macam alternatif olahraga, akhirnya saya memutuskan untuk melakukannya. Fitness? Tidak. Saya masih parno akan kemungkinan badan yang semakin melar kalau fitness tersebut tidak berkelanjutan. Bersepeda? Duit saya belum cukup buat membeli sepeda yang rasanya menjadi semakin mahal. Lari? Huff! Banyakan capeknya. Lagian efek cedera menjadi terlalu besar karena tungkai yang kecil belum mampu menopang badan yang segede-gede gaban. Jadi?



Renang! Akhirnya saya memilih jurus ini untuk sedikit mengeraskan dan menghilangkan gumpalan lemak di tubuh. Ada ketakutan yang menghantui sebenarnya, saya belum bisa terlalu berenang. Itupun kalau ke kolam atau ke pantai, banyakan main airnya daripada berenang. Sebentar apa yang dikatakan orang? Kalau saya tenggelam?

Pertanyaannya lagi, saya mau berenang dimana? Celana renangnya mau bagaimana? Beli? Dimana? Berapa harganya? Hahhaha. Kok kayaknya ribet banget yah! Tapi berhubung niat yang sudah membulat, maka saya pun memulai perjuangan saya sebagai perenang amatiran.

Yang pertama dilakukan adalah berburu celana renang! Dimana saya bisa mendapatkan celana renang yang cocok untuk beruang? Saya sempat mengikuti saran seorang teman di kantor, katanya cari di Barata. Sebuah toko pakaian di daerah pantai Losari. Beberapa kali niat ini selalu gagal, tapi begitu kesampaian ternyata hasilnya pun tidak sesuai dugaan. Pas saya menanyakan celana renang yang dimaksud, mbak-mbak penjaganya cuma bilang,

“maaf pak. Tidak ada ukuran untuk bapak”


Wtf! Apalagi penjaga toko itu mengatakannya tanpa merasa bersalah sedikitpun! Akhirnya saya bingung lagi, mau cari dimana? Lokasi kedua : matahari! Disini baru saya mendaptkan yang sesuai, yah Cuma satu masalahnya. Harganya ngajakin miskin banget! 189. 000 rupiah. Huhuhuhu. Mau makan apa saya selama sisa sebulan ini? Tapi yasudlah. Daripada besok yang kenapa-kenapa, akhirnya celana ini terbeli juga.

Rencana kedua adalah hunting kolam renang. Dimana? Kapan? Bagaimana? Dari sekian banyak kolam yang ada di Makassar, hanya ada ebberapa tempat yang rekomendasi mengenai kebersihannya. Untuk waktu sih, sepertinya tidak ada waktu lain selain sore hari. Kolam Mattoangin? Kejauhan dari kantor, belum dapat macetnya selama perjalanan. Pasti sampai disitu kolamnya sudah tutup. Unhas? Kayak tidak tahu saya kolam renangnya diisi pakai air dari mana. Dari danau unhas cint! Kolam hotel? Nggak tahu harganya berapa, pasti lebih ngajakin miskin banget lagi. Dan akhirnya pilihannya jatuh ke padepokan Tirta Lontara. Murah, meriah, dekat dari kantor.

Semua persiapan sudah siap, jadi tunggu apa lagi?