King, Gabungan keindahan dan semangat bangsa Indonesia

Title : King
Produser : Ari Sihasale,
Produksi : Alenia Pictures,
Pemain : Rangga Raditya, Lucky Martin, Surya Saputra, Mamiek Prakoso, Ariyo Wahab, Wulan Guritno, Argo “aa Jimmy” ,
Sutradara : Ari Sihasale,
Penulis : Dirmawan Hatta.


Minggu ini ada 3 pilihan film yang layak tonton. KCB, Garuda Di Dadaku, Transformer 2, dan King. Ternyata film terakhir justru yang paling awal saya tonton. Tak apalah, lumayan sebagai penghilang stress di hari minggu.
Badminton (bulutangkis) selalu mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Lihat saja ketika musim Uber Cup ataupun Thomas Cup semua orang dilanda ”perang bulu”. Mulai dari kota sampai ke pedesaan. Gak punya raket? Gampang! Cari saja tripleks yang bisa ditambahkan pegangan. Holla! Kita sudah bisa bermain badminton. Banyak pula orang yang bermimpi untuk bisa menjadi seperti jagoan-jagoan badminton tersebut. Sebut saja Taufik Hidayat, Liem Swie King. Nama terakhir ini pulalah yang menjadi ”bekal inspirasi” dari film King.
Diawal cerita kita akan diajak berkenalan dengan Guntur. Seorang anak dari desa di pelosok Banyuwangi. Memiliki ayah yang penggemar berat badminton rasanya menjadi terlalu berat untuknya. Mimpi Guntur seakan tidak bisa dilepaskan dari mimpi ayahnya juga. Mimpi apa? Tentu saja untuk bisa menjadi atlet badminton hebat dan mengharumkan nama Indonesia. Pertandingan demi pertandingan Guntur ikuti untuk mengasah bakatnya. Sayang seribu sayang, bahkan untuk membeli raket pun Ayah Guntur tidak mampu.
Apa yang terjadi kemudian? Seorang sidekick tentu saja sudah dipersiapkan. Ada yang selalu membantunya. Walaupun harus ”nyolong” dari penjual balon, minjam raket milik orang lain, selalu ada cara. Akhirnya Guntur pula yang akan ”disidang” oleh ayahnya.
Satu scene dialog yang paling membekas dari film ini,

”kamu menjadi juara apa? Seorang juara tidak akan merepotkan banyak orang”
Perjalanan Guntur dalam meraih mimpinya janganlah terlalu banyak saya paparkan disini. Saya tidak mau menjadi spoiler. Yang pasti banyak hal yang mewarnai perjalanan seorang Guntur untuk bisa sampai di Kudus. Tempat dimana banyak pebulutangkis handal Indonesia dilahirkan disana.
Ekspektasi saya terhadap ”taste” seorang Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen akan gambar-gambar cantik terjawab pula di film King. Lihat saja scene-scene indah yang ditawarkan film Denias, semuanya terulang lagi disini. Landscape tanah jawa yang begitu eksotik, deretan wilayah yang masih sangat Indonesia, sampai kultur yang begitu membumi. Semuanya terpoles menjadi satu kenyataan, ”benarkah Indonesia secantik ini?”. Dan jawabannya adalah ya!
Dari sisi alur cerita, bolehlah kita mengacungkan jempol untuk film ini. Dari sebuah petikan wawancara yang saya tonton beberapa waktu yang lalu, memang film King ini diangkat dari autobiography Liem Swie King. Ditambah beberapa bumbu di sana-sini. Sangat tepat untuk menggambarkan ”perjalanan” seseorang untuk meraih mimpinya. Walaupun menurut saya film ini terasa ”tanggung” dari segi emosi. Dari awal kita sudah diajak dengan alur yang ringan, penuh canda, dan mengajak kita rileks. Tapi ada beberapa scene yang seharusnya bisa dibuat lebih emosional. Terutama scene antara Guntur dan ayahnya. Mungkin karena terpengaruh dengan faktor Semua Umur, jadinya faktor emosinya tidak digarap terlalu dalam. Saya merasa film ini menjadi agak terlalu datar. Coba porsi pertentangan Guntur dan ayahnya mendapat porsi yang lebih banyak ataupun porsi emosional Guntur dalam ”melawan dirinya” sendiri dalam berbagai pertandingan diperbanyak, pasti film ini menjadi lebih membekas.
Deretan aktor dan aktris pendukung layak mendapat standing ovation. Terutama peran Mamiek sebagai seorang ayah. Bagaimana budaya dan kebiasaan ayah di seluruh Indonesia tergambar di perannya.

”Kalau seorang ayah menjadi lemah, bagaimana dia tampak di depan anaknya?”

Padahal seorang anak pun terkadang harus mengenali juga kelemahan dan kemampuan seorang ayah supaya tidak pernah terjadi salah paham. Sahabat Guntur, Raden, juga mencuri perhatian. Tanpa dia Guntur akan menjadi sosok yang berat. Yang tidak bisa menikmati hidup. Mungkin peran yang paling tidak penting di film ini peran Wulan Guritno kali yah. Asli Cuma sebagai ”pemanis” saja. Menjadi suatu hal yang agak berlebihan. Yang berlebihan lagi? Ada! Soundtrack yang dinyanyikan oleh sang Raja soundtrack, Ipang, diulang di 3 SCENE yang berbeda!!! What the hell?? Kalau memang kata-kata ”kita adalah bangsa pejuang” yang ingin direpitisi carilah lagu yang lain. Karena menurut saya satu lagu mestinya mewakili satu adegan. Gak usah diulang-ulang lagi!
Satu hal yang agak mengganggu saya juga dalam film ini adalah deretan iklan yang menjadi sponsor. Saya menjadi bingung akhirnya. Apakah film ini dibuat berdasarkan pesanan sponsor, atau sponsor masuk setelah melihat filmnya yang cocok dengan produk mereka? Saya sangat teriritasi saja melihat berbagai produk itu dalam scene di film King. Apalagi di bagian Ending, seolah-olah film ini merupakan pesanan PT. Djarum. Okelah kita tidak bisa menyangkal bahwa banyak atlet badminton yang berasal dari sana. Apalagi ketika melihat ”Hall Of Fame” yang terpampang di aula utama. Seiring dengan promo film ini, di televisi juga gencar promo beasiswa bulutangkis Djarum. Tapi yasudlah. Kalau memang tempat itu bisa menjadi mimpi banyak orang di Indonesia, setidaknya mereka tahu kemana mereka harus pergi kan?
Pada akhirnya saya menyatakan salut untuk seluruh deretan kru dari film King ini karena mereka sudah berani menyuguhkan suatu tayangan yang berbeda. Berbekal kekhawatiran kurangnya tayangan yang bermoral untuk anak-anak. Di saat liburan sekolah seperti ini, film King layak untuk dijadikan hiburan. Daripada nonton film Pocong yang tidak jelas!

Konsep pendidikan keluarga.

Dalam 2 hari ini entah mengapa konsep itu semakin terngiang-ngiang di telinga saya. Konsep tentang bagaimana semestinya seorang anak mendapat pendidikan dari orang tua. Bukannya tanpa sebab, 2 hari yang lalu saya banyak ngobrol dengan Tadda. Mengenai konsep perbedaan keluarga kami.
Dalam keluarga saya, sejak dari kecil kami sudah dibiasakan untuk mengambil tanggung jawab atas hidup kami. Contoh sederhana,

Saya : ma, saya mau ikut les bahasa Inggris. Ikut tidak yah?
Ibu : penting tidak?
Saya : Penting.
Ibu : kamu nilai sendiri. Kalau memang kamu rasa penting. Ambil. Karena kamu yang menjalani. Tapi jangan mengeluh kalau waktu mainmu terambil sebagian.


Dan syukurlah karena mungkin kami semua (saya beserta kakak dan adik) diberikan kapasitas berpikir yang lebih besar daripada orang lain. Akhirnya semua permasalahan tentang pendidikan kembali ke tangan kami semua. Mau masuk sekolah mana. Mau masuk jurusan apa. Mau belajar apa tidak sewaktu ujian. Semuanya dikembalikan ke kami. Dan perlahan-lahan saya pun mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas pendidikan yang saya bisa. Ada satu hal yang sangat terekam dalam kepala saya perkataannya Ibu tentang pendidikan,

”Biar saja Ibu dan Bapakmu bodoh. Hanya lulus SMP saja. Tapi kalian harus pintar. Supaya besok bisa hidup lebih baik dari kami.”



Kenapa hal ini sangat mengganggu pikiran saya? Kemenakan saya di sebelah rumah tidak lulus SMP. Sekolahnya termasuk unggulan pula! Sedangkan anak-anak lain di sekitar rumah kami walaupun sekolah swasta tetapi bisa lulus SMP. Apa yang menjadi masalahnya? Ibu seorang kepala bagian di Pengadilan Tinggi. Ayahnya seorang insinyur. Kok bisa anaknya lulus SMP saja tidak?

Ada banyak hal yang terakumulasi dalam perjalanan kehidupan kemenakan saya itu. saya tidak mungkin menyalahkan atau menghakiminya. Siapa saya? Cuma terkadang miris saja. Sudah dari dulu saya sering memanggilnya untuk belajar. Cuma karena kepala batu, yah tetap aja ngeyel. Permasalahan utama memang berasal dari rumah. Ibunya adalah seorang pegawai kantor. Pulang jam 5 sore. Habis itu belanja untuk masakan di kantin keesokan harinya. Sedangkan ayahnya sibuk juga. Mengurusi proyek LPPM yang ada di daerah kami. Akibatnya? Anaknya yang lebih senang nongkrong di rental playstation daripada tinggal di rumah. Lebih senang keluyuran daripada belajar.

Saya masih ingat ketika saya kecil, jam 7 malam sudah harus masuk rumah. Belajar. PR dikerjakan semua. Setiap ada ulangan semuanya harus dihapal. Walaupun terkadang ada beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ibu ataupun bapak, setidaknya mereka menyuruh kami untuk membaca dan belajar. Itu yang terbawa sampai sekarang. Dimana saya bisa mengerti dan memahami keinginan orang tua. Karena pendidikanlah yang membedakan posisi kita dengan orang lain.

Okelah mungkin kedengarannya sangat klise. Tapi begitulah yang terjadi. Dalam konsep psikologi, seorang anak (pembahasan di skripsi tercinta) akan merekam kebiasaanya dan terus membawanya serta. Kalau memang dibiasakan baik, dia akan baik. Walaupun nantinya akan ada faktor dari luar yang ikut mempengaruhi, setidaknya ”isi dalam”nya sudah benar dululah. Belakangan soal memutuskan ini benar atau tidak. Tergantung insting yang akan diikuti anak tersebut.

Jadi bagaimanakah konsep pendidikan ideal yang harusnya diturunkan oleh orang tua kepada anaknya? Masih banyak hal yang harus dipertimbangkan tentu saja. Faktor ekonomi yang membuat orang tua harus bekerja ekstra untuk keperluan sang anak. Faktor pembiasaan dalam rumah, dan masih banyak faktor lainnya. Tapi setidaknya saya sadar akan satu hal. Ketika kita benar-benar memberikan perhatian khusus kepada anak mengenai pentingnya pendidikan, dia akan membawanya seumur hidup. Bahwa itulah nantinya yang akan menjadi modal dasar untuk menghadapi dunia.

*penghargaan tak terhingga untuk Ibu dan Bapak yang telah mengajarkan kami untuk selalu belajar. Walaupun cambukan sapu lidi itu dulunya begitu perih di betis dan tangan, setidaknya betis dan tangan itu sekarang bisa digunakan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Book Review : My Sister Keeper

Title : My Sister Keeper
Author : Jodi Picoult

Gramedia Pustaka Utama, 2007

528 halaman.


“Alasan kenapa terjadi penyimpangan? Poros bumi goyah. Hidup tidaklah semantap yang kita inginkan”

Saya berkenalan dengan karya Jodi Picoult ditahun 2007. Ketika seorang teman menyodorkan buku ini. Seketika itu pulalah saya jatuh cinta kepada setiap karya yang dihasilkannya. Kenapa? Karena dia membahas sesuatu yang menjadi keahlian saya. Hidup di dunia abu-abu. Ketika batas antara benar dan salah menjadi sangat tipis. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.

Dalam buku setebal 528 halaman ini kita akan diajak masuk ke dalam dunia Anna selama delapan hari. Melihat perjuangannya yang menuntut keluarganya sendiri demi mendapatkan hak medis untuk tubuhnya. Tapi ini tidak berarti sebuah jalan mulus. Karena di ujung jalan dia mengetahui bahwa ketika pilihan ini dia ambil, Kate, sang kakak akan mati.

Anna sendiri dikisahkan merupakan anak ”penunjang” yang diciptakan oleh pasangan Brian dan Sara Fitzgerald untuk menyelamatkan Kate, sang anak sulung yang terkena leukimia ganas. Yang dibutuhkan adalah sel dari donor yang cocok dengan tubuh Kate. Sedangkan Jesse Fitzgerald, anak kedua ternyata tidak memenuhi syarat tersebut. Untuk itulah Anna ada. Ternyata bantuan Anna tidak hanya darah tali pusatnya saja ketika dia lahir. Tapi berlanjut kepada donor sumsum tulang belakang, sel darah putih, dan terakhir ginjal. ”Sumbangan” terakhir inilah yang membuat Anna mencari pengacara untuk melawan keluarganya sendiri. Untuk memperoleh kebebasan medis dirinya. Walaupun untuk itu Kate harus meninggal.

Selain kelima anggota Fitzgerald yang menjadi tokoh utama, ada pula Campbell Alexander. Sang pengacara yang menerima kasus ini dan dipercaya Anna untuk melawan Sara di pengadilan. Plus tidak ketinggalan pula ada Julia, seorang wali ad-item yang ditunjuk oleh pengadilan untuk berbicara hati-ke-hati dengan Anna. Mempertanyakan apakah anak berusia 13 tahun memang mampu untuk mengambil keputusan sebesar itu. Twist tambahan? Campbell dan Julia merupakan sepasang kekasih di masa lalu. Sekarang mereka akan memilih antara profesionalitas atau lebih mementingkan perasaan.

Dalam buku ini keistimewaannya adalah kita akan mengikuti perjalanan kasus ini dari kacamata semua pihak. Kelima Anggota Fitzgerald, Campbell, dan Julia menjadi tokoh utama. Semuanya dilihat dari sudut pandang orang pertama, ini yang membuat semuanya menarik. Bahwa satu hal akan terlihat berbeda ketika dilihat dari sisi lain. Semakin ke belakang kemudian tampak semakin jelas juga perjalanan keluarga Fitzgerald dalam menghadapi leukimia Kate. Apakah mereka benar akan mengorbankan kesehatan Anna yang begitu berharga untuk Kate yang umurnya tinggal sedikit lagi. Siapakah yang paling disayangi? Anna atau Kate? Bagaimana dengan Jesse? Dengan semua perhatian yang dicurahkan untuk Kate, apa yang terjadi dengan dirinya? Bagaimana pula seorang Campbell yang pertamanya begitu egois menjadi sangat manusiawi setelah bertemu dengan Anna?

Saya tidak membocorkan terlalu banyak apa yang terjadi dalam buku ini. Bagaimana seorang Jodi Picoult menjabarkan tentang nilai-nilai yang ada didalam sebuah keluarga. Bahwa hidup di dunia ini tidak hanya berarti hitam dan putih. Apakah daerah abu-abu itu memang sudah tercipta dan kita memasukinya, ataukah kita yang menciptakan daerah abu-abu itu?

Film ini juga akan keluar di bulan September nanti, dengan Cameron Diaz akan berperan sebagai Sara Fitzgerald. Silahkan memilih. Mencari dan membaca buku ini kemudian menonton filmnya. Menunggu filmnya dan kemudian mencari bukunya, ataupun memilih salah satunya saja.

Big Boys Don't Cry



do you know what the saddest part from being alone?
when no one wakes you up in the morning
when no one kisses you in the late of the night.
i've been through it all.


and i think,
i don't like it.
but i got to used to it.


fergie say, "big girls don't cry"
the cure also say, "boys don't cry"
i try to say that too for me. just me.
at this time? i can't.
because i'm only human too.


malang, june 24th

Be Careful What You Wish For


be careful what you wish for.

sometimes God play with his own joke.

image source : gettyimages

Update : Around Makassar

Kemarin saya dan Mus kembali mengelilingi kota Makassar. Misi kami kali ini mencari beberapa perlengkapan untuk kafe. Semuanya masih berupa survey. Lokasi pertama, Gubernuran. Mengambil materi dummy untuk website CD Project (mudah-mudahan kami yang memenangkan pitching ini!!!). Saya semakin menyadari bahwa memang lucu mendengar orang Jepang berbicara bahasa Indonesia. Antara sengau dan tidak jelas (maafkan kami Nakajima-san!). Mungkin begitu pula apabila kita (orang Indonesia tentu saja) berbicara dalam bahasa Jepang. Pasti terdengar aneh.

Yak lanjut! Lokasi kedua adalah cetak standing Banner kantor. Kalo kemarin-kemarin memang sudah ada beberapa standing banner beberapa unit usaha di kantor. Kali ini mau pesan yang paket komplit. Menujulah kami ke Mawar Advertising di jalan Korban 40000 jiwa. Bla, bla, bla, kami ngobrol sedikit dengan mbak-mbak FO nya, kami langsung disuruh naik ke bagian design.

Saya : ”mbak yang dilantai 2 kan?”
Mbak : ” iya, langsung naik saja.”
Saya : ”mbak, bisa tolong orang itu suruh geser sedikit kursinya? Saya tidak bisa lewat”
Mbak : tersenyum tipis dengan muka menghina.

Haha! Ada beruang terjepit di tengah kursi. Ya sud lah. Kelar cetak standing banner, kembali mencari misi selanjutnya. Mencari sofa! Duh sudah berasa new family deh! Cuma karena saya jalannya berdua sama Mus, tolong jangan diasosiasikan dengan yang lain yah! Mutar-mutar lagi, akhirnya kami hanya sanggup singgah di 2 toko furniture di jalan Latimojong. Kami pun sudah membidik target sofa yang mana akan dipakai untuk di kafe nanti (seolah-olah kami yang menutuskan saja!) plus keterangan dimana akan mendapatkannya.

Berhubung kami sudah skalian di Latimojong, ada satu toko buku yang ingin saya cari. Toko Buku Fabolous. Soalnya penasaran saja, Buyung, Iksan, dan yang lainnya suka banget beli majalah bekas disini. Yah telat satu bulan gak masalah lah. Yang penting tetap update kan cint! Saya selalu kelewatan kalau mau cari toko buku ini. Dibagian mana sih? Katanya depan Pizza Ria Kafe, tapi kok saya tidak pernah nemu? Berbekal 4 mata lebih baik dari pada 2 mata, saya dan Mus akhirnya menemukan tempat tersebut! Pantas saja susah dilihat, wong plang namanya saja tertutup oleh rimbunnya daun pohon. Plus gak ada pemberitahuan lain bahwa itu toko buku.

Apa yang kami dapatkan? Haha! Puas saya mencari majalah. Ada beberapa majalah yang memang sudah saya incar. Ini juga bisa jadi (bahan) pengisi blog tentu saja. Ngubek-ngubek tumpukan majalahnya, akhirnya saya memutuskan untuk membawa pulang, 7 MAJALAH!!! Kalo dinominalkan dengan harga normal awal pembelian, mestinya kami membayar 300 ribu. Tapi kmarin Cuma ditebus dengan harga 25 ribu saja! Walopun telat satu bulan, yah gak masalah!!

Lokasi terakhir yang harus ditempuh adalah tempat pembelian kaca. Hmm, dimana bisa beli kaca sege-gede gaban? Ah iya! Di depan M’Tos ada. Pusat beli dan potong kaca. Melangkahlah kami kesana. Ini adalah tujuan terakhir. Semangat anak muda! Pas masuk di toko ada satu kalimat yang mengundang senyum saya dan Mus. Tercetak dengan huruf kapital semua dan ditulis dengan tinta (atau cat?) hitam pekat.

”TOLONG SAUDARA JANGAN MENDEKAT DI TEMPAT POTONG KACA”

Tolong yah, lengkap dengan kata saudara. Hahaha! Mestinya dilengkapi dong, saudara saudari. Jadi kayak bikin undangan nikahan saja. Tambah kacau lagi karena entah siapa yang oon yah, penjaganya atau yang punya toko atau kami? Perasaan kami Cuma bertanya kaca yang mana cocok untuk dibuatkan sistem ventilasi di dalam ruangan. Oke, jawaban pertama masih normal. Pertanyaan kedua, berapa harganya? Yang punya toko hanya menjawab, 125. yo oloo, 125 apa? 125 ribu? Atau 1 juta 250 ribu? Ckckckc. Sudahlah! Yang jelas kami tahu bahwa harus ke jalan sulawesi (selatan) untuk memesan benda seperti yang kami ingin buat itu.

Itulah lokasi terakhir yang harus ditempuh dalam waktu 3 jam, disaat matahari sedang cerah-cerahnya bersinar. Get a clue? Mungkin saja besok-besok ada yang mencari beberapa keperluan seperti kami, sudah tahu harus ke jalan mana saja kan? Sampai ketemu di Around Makassar edisi berikutnya!

Bukan Cinta Biasa, sebuah film lebay dari segala arah




Title : Bukan Cinta Biasa
Sutradara : Benni Setiawan
Cast : Wulan Guritno, Olivia Jensen, Ferdy Taher, Julia Perez,


”saya kira akan melihat banyak air mata dari film ini”

Itu ekspektasi Tata ketika Film ”Bukan Cinta Biasa” sudah berjalan setengah. Saya pun mengiranya demikian. Mengingat soundtrack film ini dinyanyikan oleh Afgan dengan sangat syahdu. Atau karena dua pelawak (merujuk kepada saya dan Tata) yang menonton film ini? Karena selama durasi 2 jam penayangannya, kami hanya bisa tertawa dan bersorak ribut untuk film ini. Mencelanya tentu saja. Sedangkan penonton lain? Sedang asyik masyuk pacaran. Oh dear, malang nian nasibku kalau begitu. Mungkin film ini bisa lebih ”dimaknai” ketika ditonton bersama pasangan tercinta, malam itu kami adalah pasangan jomblo yang dipaksakan. Haha!
Saya tidak akan bertindak sebagai seorang movie freak yang akan membahas hal-hal teknis sana sini untuk film ini. Cuma sebagai penikmat film saya pun bisa berkomentar film ini dangkal dari segala aspek. Ini cerita sebenarnya mengarah kemana? Cinta ayah dan anak? Cinta pasangan muda mudi? Cerita mengenai rocker yang tidak laku lagi? Atau malah jadi film religi? Karena terlalu banyak plot yang mungkin dimaksudkan menjadi penguat satu sama lain tapi akhirnya menjadi saling terpilin. Menjadikan jalan ceritanya menjadi tidak tentu arah. Yang mana sebenarnya menjadi cerita yang dominan.
Seandainya yang dijadikan sentral utama cerita adalah emosi hubungan ayah dan anak yang tidak pernah ketemu selama 16 tahun, film ini mempunya kesempatan untuk menjadi film yang bagus. Bagaimanapun kehilangan momen selama 16 tahun itu tidak bisa dirangkum dalam satu malam. Ataupun dari adegan mengecat kamar bareng ataupun berbelanja di supermarket. Konflik emosional semestinya bisa lebih ditonjolkan kepada alasan sang ayah sebenarnya untuk meninggalkan dia dulu. Kedengaran seperti deja vu? Percayalah bukan hanya anda saja yang sepertinya familiar dengan ide cerita seperti ini.
Aspek ”komedi romantis” yang ingin dilekatkan dalam film ”Bukan Cinta Biasa” akhirnya menjadi sesuatu yang ambigu. Bukan cinta biasa ini merujuk kepada apa? Seandainya merujuk kepada father complex, pasti menjadi hal yang seru. Atau misalkan bentuk cinta yang lain, mungkin film ini akan menjadi tepat. Tapi saya menjadi kehilangan arah. Bukan cinta biasa yang dimaksud itu apa? Kalau dibilang cinta seorang ayah kepada anaknya, ini mah wajar. Ada faktor gen dalam keluarga, jadi perasaan sayang itu akan menjadi sesuatu yang tumbuh menjadi hal wajar.
Masih dari plot cerita, kok bisa tiba-tiba ada scene pesantren? Okelah kalau misalnya ingin ditonjolkan seorang anak yang ingin berbakti kepada ayahnya. Niat melihat ayahnya menjadi orang yang lebih baik. Apakah memang faktor kebaikan itu bisa dilihat dari orang yang akrab dengan minuman keras menjadi seseorang yang bisa insyaf dalam satu malam? Terlalu dipaksakan sayang. Hidup ini tidak seindah itu.
Film ini menjadi parade sponsor yang hilir mudik sepanjang jalan cerita. Mulai dari sponsor minuman sampai radio yang lagi happening. Dengan shoot yang kadang menghajar mata, parade iklan itu terkadang menjadi pengganggu. Dan ini semakin membuktikan juga, ada banyak film berkualitas lain yang layak didukung, tapi kenapa mesti film sekelas ini?
Dari jajaran pemain yang ikut ambil bagian hanya nama Wulan Guritno lah yang layak mendapat acungan jempol. Aktingnya total. Feelnya dapat. Special Appareance dari Afgan juga menarik, dengan Remix lagu Terima Kasih Cintanya. Sedangkan yang lain? Miss cast. Ingin membuat saya muntah. Olive jansen yang berperan sebagai sang anak, tak ubahnya sebagai Cinta Laura kedua. Dia lama tinggal sama nenek dan kakeknya, darimana dia mendapat logat sok bule itu? Sosok rocker pun hanya awal-awalnya saja yang pas, menuju ke ending film, Ferdy Taher menjadi semakin lebay. Semakin memuakkan. Apalagi di scene endingnya. Terlalu dipaksa. Image seorang rocker yang telah makan asam garam pertunjukan, groupies, minuman keras, langsung tergantikan dengan sosok anak band kacangan yang baru mencari identitas. I’m sorry dude.
Satu yang mencuri perhatian telinga saya adalah jajaran soundtrack yang memikat. Ada beberapa track yang mengalun selama pertunjukan film ini dan itu bagus. Walaupun tidak sesuai dengan adegan dalam filmnya, track-track tersebut bisa berpotensi menjadi hits ketika dirilis sebagai sebuah singel. Ah ada nama Ipang rupanya diantara jajaran soundtrack tersebut. Pantas saja.
Overall, walaupun untuk sebuah film yang ditonton gratis setelah memaksa seorang produser radio memberi kami tiket nonton tersebut, ”Bukan Cinta Biasa” tetap menjadi tontonan yang tidak layak dinikmati. Skala kebosanan muncul dari awal sampai akhir film. Apalagi dengan melihat banyaknya pasangan yang berasyik masyuk menonton film ini. Ah nasib kami menjadi jomblo!