Produser : Ari Sihasale,
Produksi : Alenia Pictures,
Pemain : Rangga Raditya, Lucky Martin, Surya Saputra, Mamiek Prakoso, Ariyo Wahab, Wulan Guritno, Argo “aa Jimmy” ,
Sutradara : Ari Sihasale,
Penulis : Dirmawan Hatta.
Minggu ini ada 3 pilihan film yang layak tonton.
Badminton (bulutangkis) selalu mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Lihat saja ketika musim Uber Cup ataupun Thomas Cup semua orang dilanda ”perang bulu”. Mulai dari kota sampai ke pedesaan. Gak punya raket? Gampang! Cari saja tripleks yang bisa ditambahkan pegangan. Holla! Kita sudah bisa bermain badminton. Banyak pula orang yang bermimpi untuk bisa menjadi seperti jagoan-jagoan badminton tersebut. Sebut saja Taufik Hidayat, Liem Swie King. Nama terakhir ini pulalah yang menjadi ”bekal inspirasi” dari film King.
Diawal cerita kita akan diajak berkenalan dengan Guntur. Seorang anak dari desa di pelosok Banyuwangi. Memiliki ayah yang penggemar berat badminton rasanya menjadi terlalu berat untuknya. Mimpi Guntur seakan tidak bisa dilepaskan dari mimpi ayahnya juga. Mimpi apa? Tentu saja untuk bisa menjadi atlet badminton hebat dan mengharumkan nama Indonesia. Pertandingan demi pertandingan Guntur ikuti untuk mengasah bakatnya. Sayang seribu sayang, bahkan untuk membeli raket pun Ayah Guntur tidak mampu.
Apa yang terjadi kemudian? Seorang sidekick tentu saja sudah dipersiapkan. Ada yang selalu membantunya. Walaupun harus ”nyolong” dari penjual balon, minjam raket milik orang lain, selalu ada cara. Akhirnya Guntur pula yang akan ”disidang” oleh ayahnya.
Satu scene dialog yang paling membekas dari film ini,
”kamu menjadi juara apa? Seorang juara tidak akan merepotkan banyak orang”Perjalanan Guntur dalam meraih mimpinya janganlah terlalu banyak saya paparkan disini. Saya tidak mau menjadi spoiler. Yang pasti banyak hal yang mewarnai perjalanan seorang Guntur untuk bisa sampai di Kudus. Tempat dimana banyak pebulutangkis handal Indonesia dilahirkan disana.
Ekspektasi saya terhadap ”taste” seorang Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen akan gambar-gambar cantik terjawab pula di film King. Lihat saja scene-scene indah yang ditawarkan film Denias, semuanya terulang lagi disini. Landscape tanah jawa yang begitu eksotik, deretan wilayah yang masih sangat Indonesia, sampai kultur yang begitu membumi. Semuanya terpoles menjadi satu kenyataan, ”benarkah Indonesia secantik ini?”. Dan jawabannya adalah ya!
Dari sisi alur cerita, bolehlah kita mengacungkan jempol untuk film ini. Dari sebuah petikan wawancara yang saya tonton beberapa waktu yang lalu, memang film King ini diangkat dari autobiography Liem Swie King. Ditambah beberapa bumbu di sana-sini. Sangat tepat untuk menggambarkan ”perjalanan” seseorang untuk meraih mimpinya. Walaupun menurut saya film ini terasa ”tanggung” dari segi emosi. Dari awal kita sudah diajak dengan alur yang ringan, penuh canda, dan mengajak kita rileks. Tapi ada beberapa scene yang seharusnya bisa dibuat lebih emosional. Terutama scene antara Guntur dan ayahnya. Mungkin karena terpengaruh dengan faktor Semua Umur, jadinya faktor emosinya tidak digarap terlalu dalam. Saya merasa film ini menjadi agak terlalu datar. Coba porsi pertentangan Guntur dan ayahnya mendapat porsi yang lebih banyak ataupun porsi emosional Guntur dalam ”melawan dirinya” sendiri dalam berbagai pertandingan diperbanyak, pasti film ini menjadi lebih membekas.
Deretan aktor dan aktris pendukung layak mendapat standing ovation. Terutama peran Mamiek sebagai seorang ayah. Bagaimana budaya dan kebiasaan ayah di seluruh Indonesia tergambar di perannya.
”Kalau seorang ayah menjadi lemah, bagaimana dia tampak di depan anaknya?”
Padahal seorang anak pun terkadang harus mengenali juga kelemahan dan kemampuan seorang ayah supaya tidak pernah terjadi salah paham. Sahabat Guntur, Raden, juga mencuri perhatian. Tanpa dia Guntur akan menjadi sosok yang berat. Yang tidak bisa menikmati hidup. Mungkin peran yang paling tidak penting di film ini peran Wulan Guritno kali yah. Asli Cuma sebagai ”pemanis” saja. Menjadi suatu hal yang agak berlebihan. Yang berlebihan lagi? Ada! Soundtrack yang dinyanyikan oleh sang Raja soundtrack, Ipang, diulang di 3 SCENE yang berbeda!!! What the hell?? Kalau memang kata-kata ”kita adalah bangsa pejuang” yang ingin direpitisi carilah lagu yang lain. Karena menurut saya satu lagu mestinya mewakili satu adegan. Gak usah diulang-ulang lagi!
Satu hal yang agak mengganggu saya juga dalam film ini adalah deretan iklan yang menjadi sponsor. Saya menjadi bingung akhirnya. Apakah film ini dibuat berdasarkan pesanan sponsor, atau sponsor masuk setelah melihat filmnya yang cocok dengan produk mereka? Saya sangat teriritasi saja melihat berbagai produk itu dalam scene di film King. Apalagi di bagian Ending, seolah-olah film ini merupakan pesanan PT. Djarum. Okelah kita tidak bisa menyangkal bahwa banyak atlet badminton yang berasal dari sana. Apalagi ketika melihat ”Hall Of Fame” yang terpampang di aula utama. Seiring dengan promo film ini, di televisi juga gencar promo beasiswa bulutangkis Djarum. Tapi yasudlah. Kalau memang tempat itu bisa menjadi mimpi banyak orang di Indonesia, setidaknya mereka tahu kemana mereka harus pergi kan?
Pada akhirnya saya menyatakan salut untuk seluruh deretan kru dari film King ini karena mereka sudah berani menyuguhkan suatu tayangan yang berbeda. Berbekal kekhawatiran kurangnya tayangan yang bermoral untuk anak-anak. Di saat liburan sekolah seperti ini, film King layak untuk dijadikan hiburan. Daripada nonton film Pocong yang tidak jelas!