Don’t be so naive


Kuakui minggu ini berjalan begitu berat. Semuanya menjadi titik klimaks. Ataukah saya harus menyebutnya titik kulminasi? Saya bahkan tidak mengetahui apakah ini merupakan titik paling tinggi, sehingga esok saya tinggal jatuh bebas saja. Ataukah ini merupakan titik terendah, dimana untuk esok saya harus mengeluarkan lebih dari tenaga untuk melangkah lagi ke atas.
Tapi dimana pun titik itu berada, saya memulai semuanya dari awal lagi. Dimulai dari proposal skripsi (lagi). Kemarin saya sudah memberanikan diri untuk memulai bimbingan pertama *dan harapan saya ini yang terakhir. Mengenai judul skripsi yang saya angkat ”Tanggapan pendengar radio terhadap iklan Procold Versi Togar ke Pasar di radio SPFM di kelurahan pisang selatan.” yah, itulah mantan judul skripsiku. Rencananya besok, setelah pembimbing II balik dari umroh saya akan langsung bimbingan juga, minta lembar pengesahan, dan minggu depan saya sudah berpakaian hitam putih untuk seminar. Tapi nyatanya tidak. Skenario berubah. Steleah dilihat, diamati dan diberikan argumen (dimana saya bahkan tidak bisa membela dan berkata apapun mengenai proposal yang saya buat, dasar BODOH!!!) akhirnya bapak pembimbing I mengatakan,

”apa latar belakang masalahmu ini? Tidak jelas apa yang ingin kau teliti”

*sigh, pelan tapi dalam.

Begitulah. Berbekal sabda itu, maka proposal saya kemudian dirombak total. Semuanya? Ya semuanya. Bahkan judul yang harus diganti. Apakah memang saya yang bodoh? Bukan, bukan itu. Ada pengakuan bahwa apa yang ingin saya ajukan hanyalah merupakan karya asal. Argh!!!
Maaf, saya agak lupa judul baru yang diberikan. Tapi untuk fokus penelitian tetap sama, di radio juga. Cuman yang menjadi objek penelitian mengenai acara talkshow di SPFM. Yah, tampaknya kita akan bergelut mengenai Cantik dan Sehat, Kasih Ibu, Halo Dokter, Rahasia Dapur, Derap Perempuan, sampai Gagas Gender. Takut? Mungkin tidak karena saya sudah mempunyai gambaran mengenai apa yang akan menjadi latar belakang masalah. Stress? Iya, karena saya sudah semakin tidak mempunyai waktu dan saya haru memulai dari awal lagi.
Ketika berbicara mengenai judul baru saya, ada ketakutan lagi yang muncul. Kemarin, keputusan untuk memilih pembimbing II yang pergi umrah ini, karena (rencana) skripsi saya mengenai iklan. Dan beliau yang paling mahfum mengenai ini. Dan sekarang kayaknya total masalah radio yang akan saya angkat. Dan beliau agak tidak cocok. Ini yang menjadi ketakutanku lagi. Kemarin ada seorang dosen juga yang memberi tahu, kenapa bukan –salah seorang bapak- ini yang menjadi pembimbing II saya. Secara dia yang paling mengerti mengenai radio. Bisakah itu terjadi? Tanpa menimbulkan satu ketersinggungan di mata calon (mantan) pembimbing II saya? Plus, ada lagi yang dia katakan yaitu untuk mengukur populasi pendengar radio haru melihat data yang akurat, untuk menetukan sampel yang akan dteliti. So?
Kemarin juga perasaan sudah terkuras. Mudah-mudahan badai itu sudah berlalu. Ketika perlahan saya sudah bisa menemukan pijakan kembali. Ternyata tidak hanya darah yang bisa sekental ikatan itu. Air mata pun bisa menjadi penyambung perasaan. Saat saya ingin mendamba dekapan, disaat saya berpikir bahwa semuanya akan berakhir, rupanya memang Tuhan masih sayang kepada kami. Perlahan badai itu sudah semakin menghilang. Pekat yang dulu senantiasa menggelayut sudah terlanjur tumpah. Sudah terlanjur mengeluarkan angin yang merusak semuanya. Apakah kami ikut rusak? Mungkin saja, tidak bisa dipungkiri sebagian dari hati ikut terbang bersama badai itu. Sebagian lagi masih menunggu dengan cemas, apakah akan ada episode selanjutnya. Tapi apa kita akan menyerah? Untuk saat ini maaf saya katakan tidak. Walaupun kemarin hati ini sudah benar-benar hancur dan sudah berdarah. Saya akan jalan terus. Mencoba yang terbaik. Dan membuat pelindung sebaik mungkin. Agar keesokan hari ketika badai itu datang kembali kami akan siap. Kami akan bisa bertahan. Ataukah dengan ketakutan lain. Apabila esok saya yang akan menjadi sang badai itu. Semoga tidak.
Tentang teman. Ah, kenapa? Kemarin Nida berkata padaku hal yang sama lagi,

”memang begitulah keadaannya. Sesuatu harus dikorbankan untuk mendapatkan yang lain?.”

Disaat semua orang masih berpikir untuk mau membikin pondasi atau tidak, saya sudah berada di titik dimana pondasi saya sudah terbangun dan sudah hampir selesai. Apa yang terjadi? Rasa kehilangan dan rasa sendirian semakin menyergap. Kemarin sempat pula statement itu keluar lagi dengan Kak Adhe,

”teman? Saya tidak membutuhkannya. Sudah banyak peristiwa besar dalam hidupku dan saya bisa melaluinya sendiri. Untuk apa saya membutuhkan orang lain?”

Sungguh arogansi diri yang begitu besar. Aku akui pondasi itu memang untuk masa depan. Tetapi terkadang saya tidak sanggup. Dimana rasanya materi memang tidak bisa menggantikan perasaan bersama. Ketika saya menyangka saya naik level, ternyata saya tidak memiliki teman yang seumuran dan posisi seperti saya. Mungkinkah? Apa? Berharap ada yang mengerti? Just don’t be so naive. Masih ingat ketika air mata itu ingin keluar disaat saya ingin menikmati batagor? Apa yang kau nikmati? Sendiri? Bohong. Karena kau memang tidak pernah ikhlas. Apanya? Kau yang selalu menolak. Selalu menganggap tidak memerlukan orang lain. Nyatanya kau sendirian. Tenggelamlah disana kalau kau ingin terus. Jadi apa yang harus saya lakukan? Belajarlah untuk menerima orang lain. Membuka hati dan mempercayai orang lain.

Dimana kita sekarang? Masih berbeda kuadran, masih tertatih-tatih. Tapi apakah kau ingin berhenti? Maaf, dengan tegas kukatakan TIDAK.

1 Comment to Don’t be so naive

wow... saya jg pernah melewati titik ini.skripsi yang dirombak total mulai judul hingga akhir.membuat stress memang,tp disitulah pelajaran2 berharga saya dptkan. dan percayalah bro, kita memang sangat2 membutuhkan org lain.