Turning Back Point : Get Married!

Nope, nggak lah. Nyangka saya bakal married? Makasih. Tapi tidak. Saya cuman merasa saat ini menjadi salah satu turning point saya lagi. Dimana semua berubah. Entah keatas ato entah ke bawah. Tanya saya? Jangan. Bahkan saya sendiri pun tidak bisa menjelaskan apakah saya sedang mengalami degradasi perasaan ato mencari pembenaran akan semua yang saya lihat dan saya rasakan.
Nggak nyangka udah sebulan, dimana sang isi kepala tetap berada dalam pengasingan. Tetap berada dan menjamur dalam sela-sela otak yang semakin lama semakin menggila. Yak, ini saatnya kalian mengambil nomor antrian lagi. Untuk keluar!!! Dan sedikit memberikan ruang yang kosong bagi otak yang sudah semakin menua ini. Mudah-mudahan semua berjalan lancar lagi, dan semua cerita, semua perasaan dan semua pengalaman bisa terpetakan kembali secara fisik sebagaimana mestinya, sehingga saya tidak perlu mengalami deja vu hanya untuk mengetahui bahwa saya pernah berjalan di tempat yang sama. Salam. Inilah yang berhasil memegang tiket antrian nomor 1 yang mesti keluar dari kepalaku...


Get Married, a film by Hanung Bramantyo



Okelah, sikap skeptis saya akan film dalam negri sendiri sempat membuat bete dan membuat ”perdebatan yang tidak penting” antara saya dan teman-teman saya. Karena menurutku film indo masih agak-agak ”kurang” untuk dijadikan pilihan untuk membuang-buang uang dengan menontonnya di bioskop. Tercatat hanya beberapa film saja yang menarik di mataku, seperti Mengejar Mas-Mas (asli ni film keren banget! Konstruksi budayanya dalem!!!), Coklat Stroberi (just three words, Precious-Emptyness-Desire, salut untuk pesan non verbalnya!!!), Selamanya (sebenarnya film ini sangat tidak penting, tetapi dipaksa menjadi penting karena waktu itu saya sedang merayakan kebahagian satu pasang manusia yang sedang bercinta, dan saya dijadikan kambing congek). Dan inilah film yang memuaskan hasratku untuk melihat tontonan berkualitas. Get Married!!!
Apalagi saya agak heran, tampaknya ramadhan kemarin merantai semua setan emang benar karena sekarang Sundel Bolong, Kuntilanak, dan Pocong sedang gentayangan di bioskop-bioskop. Sangat tidak jelas dan tidak menarik.
Diawal cerita, kita sudah disuguhi sindiran yang lumayan ”pedas” akan gambaran diri sendiri. Mulai dari gambaran masyarakat indonesia yang emang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan. Dan itu semua digambarkan dengan nyata dan sangat jelas. Potongan-potongan kehidupan 4 orang anak mulai dari proses kelahiran, sampe cita-cita mereka sudah lumayan memberikan gambaran akan seperti apa tokoh yang akan bermain didalam film ini.
Diawali seorang Mae (Nirina Zubir) yang sobatan dengan ketiga temannya yang sangat tidak jelas kehidupannya, Eman (Aming), Beni(Ringgo), Guntoro (Desta). Disini hidup berjalan sebagaimana mestinya. Dimana persahabatan mereka udah kayak sodara, dan hari-hari mereka lewati dengan tertawa bersama. Satu persoalan yang kemudian diangkat menjadi tema besar dalam film ini oleh Hanung, yaitu tema pernikahan yang kemudian bagi kebanyakan orang Indonesia masih menjadi jalan keluar. Ketika Mae, sudah dirasakan menjadi beban bagi keluarganya (ketika udah berumur 25 tahun, gak jelas status apa, sarjana lagi!), maka dia diputuskan untuk dinikahkan. Penggambaran keinginan orang tua Mae (Meriam Belina dan Jaja Miharja) pun cukup gamblang dijabarkan. Padahal mestinya kita merasa malu, dengan pengungkapan seperti itu, tapi ketika melihat potongan filmnya saya langsung menganggap hal yang lumrah. Larena kita masih tinggal di Indonesia. Maka jadilah orangtua Mae masuk ke kampung sebelah (karena secara habit, orang sekampung udah tau Mae tuh anaknya gimana =D), demi mencarikan perjaka ting-ting buat Mae.
Apakah rencana itu berjalan lancar? Tentu iya dan tidak. Iya ketika sang calon datang kerumah Mae untuk sekedar melihat-lihat (buset bahasanya! Tapi emang ini ada di adegan salah seorang calon Mae!) dan berkenalan dengannya. Tidak, ketika ternyata sang sahabat sudah waib membatu ”menyelamatkan” Mae dari ketidak senangannya pada sang calon. Maka jadilah adegan kocak yang dilakukan di sudut kampung.
Fim berlanjut ke Rendy (Richard Kevin) yang tipikal anak gedongan, besar di state. Tapi masih memiliki sense akan jodoh yang baik. Yang katanya bisa dijadikan tantangan, dan tidak setipe dengan perempuan seperti sekarang (nih pertanyaan buat kaum cewek, kalian merasa setipe gak?). setelah bodyguardnya dikerjai oleh 3 sahabat Mae, dia kemudian merasa tertarik untuk melihat seistimewa apa sih, cewek yang hanya bisa dinikahi ama anak raja, ato anak sultan. Dan berkunjunglah dia ke kampung dimana Mae bermukim. Ketika cinta berkata inilah saatnya untuk bertemu, masih ada 3 makhluk yang tidak jelas yang menghalanginya. Dan disinilah cerita kemudian mendapatkan kuminasinya. Ketika Ibu Mae sakit dan salah penyembuhannya adalah melihat Mae nikah. Udah hopeless akan calon-calon yang tidak jelas, Mae memutuskan untuk memilih dari 3 sahabatnya.
Randy yang tidak puas dikerjai ama anak kampung kemudian dihasut oleh sang bodyguard (lagi-lagi statement di adegan ini sangat menonjok muka moral orang-orang di Indonesia!!!—dimana mari kita memperlihatkan cara Indonesia,, ugh!) dan mereka memutuskan untuk menyerang kampuang tersebut. Di hari jadi Mae dan Ringgo, Rendy dan teman-temannya melakukan penyerbuan ke kampung Mae. Dan kericuhan pun terjadi, suasana chaos digambarkan dengan sangat khas oleh Hanung. Sampai Mae dan teman-temannya pun kabur dari upacara ijab kabul dan memilih untuk membela kampung. Sampai kemudian, pada saat berkelahi, Mae menonjok Rendy... disitulah baru dia kemudian sadar akan apa yang terjadi. Endingnya,,, nonton sendiri kali yee!!!
Dijamin kalian tidak akan merasa rugi untuk mengeluarkan duit 15 ribu perak (kalo dimakassar sih harga tiket Cuma segini diluar hari nomat), karena ekspektasi kalian akan sebuah film yang menghibur akan terpenuhi. Dan janganlah menonton film ini sendirian, kalian akan kehilangan esensi ”kegilaan yang dilakukan bersama teman”. Banyak sekali frame-frame menarik, gambaran pemukiman kumuh yang menjadi gambaran masyarakat Indonesia. Gejala sosial yang sudah semakin menjadi dan persahabatan yang masih mempunyai nilai, digambarkan dengan sangat gamblang di film ini. Apalagi kelucuan yang ada tidak dibuat atrifisial dan dimaksudkan untuk melucu, tetapi hanya dengan dialog yang lugas justru semakin membuat kelucuan didalam pesan yang ingin disampaikannya.
Penataan soundtrack yang sebagian besar di nyanyikan oleh kelompok Slank, sangat membantu atmosfir film ini. Lagu-lagu familiar seperti Orkes Sakit Hati, Pandangan Pertama menjadi backsound yang sangat membantu, sangat membantu untuk tersenyum.
Terakhir, salut buat mas Hanung. Karena satu karya yang menghibur, orisinal, dan mendidik bisa hadir kita nikmati lagi, walaupun saya agak kaget ketika keluar dari studio kemudian melihat poster ”SUSTER N, dendam suter ngesot” yang dikerjakan oleh orang yang sama. Sudahlah, saya sudah sangat bahagia nonton film ini. Udah siap ato udah harus Get Married???

3 Comments to Turning Back Point : Get Married!

Anonymous
11:42 AM

Hmmm....wa lom nonton filmnya..tpi dari awal emang udah tertarik..salah satu yg bikin gue tertarik ttg masalah kehidupan sosial karakter pemain-pemainnya..

Thx bek dah ksih ref yg bagus.....gue ga usah nonton di bioskop lagi deh....*gubrax

kangeeeeeeen

wuah akhirnya movie review..! yup, film seperti ini yg saya tunggu. mengejar mas-mas sudah sukses menarik perhatian saya. sepertinya yg satu ini juga bakal. sippp

bear, thanks yaa 4 review nya.pdhl asumsi pertamaku sama spt dirimu temans..skeptis ma film2 indo, tp bknkah overgeneralisasi kesalahan brpikir?hahahaha...

sering2 yaa..review pilmnya :) smenjak hectic with my works bnyk dunia yg tergantikan (apaan sehh..??)

btw eagle award thn ini bagus2 jg tuh! ada kepala sekolah pemulung, ada ttg TKW yg ngumpulin uang utk kuliah 'n ngajar, ada ttg pendulang intan, dll.

lg mau nonton priceless nih,pmain ksukaanku Tautou.

salam..