Sekali saya pernah berada dalam posisi ini. Ketika saya merasa sangat dekat dengan seorang sahabat. Saya bercerita apapun kepadanya. Dia pun demikian. Barulah ketika saya mengetahui bahwa dia mengidap penyakit yang sangat parah, saya semakin sayang kepadanya. Menjadi teman yang selalu ada dan selalu setia. Tapi ternyata kenyataan yang ada berubah. Alasan sakitnya itu ternyata hanyalah sebagai alat dan senjata saja. Untuk memperoleh perhatian dari perempuan yang dicintainya. Berharap mereka akan berempati seperti apa yang saya rasakan. Tapi sejak itu pula, saya mulai sedikit kehilangan respek tentang penyakitnya. Karena kepada saya, dia tidak berkata sebenarnya. Apa yang harus saya percaya?
Sekarang saya berkenalan dengan seseorang lagi. Begitulah hidup. Orang-orang datang dan pergi dari kehidupanmu. Tanpa pernah kita tahu, siapa yang akan menjadi temanmu di keesokan harinya. Berawal dari komentar status di facebook, bertukar cerita melalui inbox message, sampai akhirnya bertukar kabar melalui sms dan telepon. Saya merasa nyaman dengannya. Bertukar cerita mengenai kegiatannya yang menjadi mentor untuk anak-anak yang mengidap autis. Dia pun mendengarkan ketika saya berkeluh kesah mengenai kantor, ketika terkadang beberapa teman tidak mengerti apa yang saya rasakan.
Satu hal yang membuatku kaget adalah, ketika dia menghilang hampir seminggu. Tanpa ada kabar, tanpa ada berita. Kemana dia? Saya berusaha positive thinking. Bahwa mungkin dia sibuk atau lagi apalah. Dan ternyata tebakan saya benar. Dia lagi sibuk. Sibuk di rumah sakit untuk menjalani kemoterapi.
Setelah bercerita kurang lebih hampir sejam, barulah saya tahu semua kabar beritanya. Tahu bagaimana dia menjalani hidup selama ini. Saya pikir, hidup yang didedikasikannya untuk mengajar anak-anak autis sudah sangat membuatku kagum, ternyata ada luka dan pengalaman yang lebih besar dibalik itu. Dimana dia menjalani hidup dengan caranya sendiri, berhenti kuliah untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Menjadi tulang punggung orang tua pada saat sang ayah meninggal. Menjadi “orang luar” di keluarganya sendiri karena dia memilih untuk hidup sendiri dan membiayai hidupnya sendiri.
Seperti alur cerita dalam sebuah film, sekarang saya mengetahui bagaimana kanker otak pelan-pelan menggerogoti hidupny. Semua tabungan dari hasil pekerjaannya hanya habis di rumah sakit saja. Bahkan dia sudah sampai menjual laptop, televisi dan motor untuk menutupi biaya rumah sakitnya. Untuk menjalani sesi kemo dan sesi pengobatan lainnya. Dan ketika saya sendiri sudah sangat sedih mendengar ceritanya, dia masih bisa tersenyum dan tertawa. Berkata memang beginilah hidup yang telah ditakdirkan untuknya.
Kenapa saya bisa merasa sangat dekatnya? Mungkin karena perasaan senasib itu. Dimana kami benar-benar fight dan struggle mengenai isu keluarga dan bagaimana menjalani hidup. Bagaimana kepedihan demi kepedihan terus datang dan kami masih bisa melewatinya. Sampai saat ini kami masih bisa tersenyum dan berkata, bahwa memang kita sudah lulus satu ujian. Tapi apakah kita akan lulus dengan ujian berikutnya?
Sejenak saya malu dengan diri sendiri. Terkadang beberapa keadaan yang tidak nyaman sudah membuatku menjudge hidup. Hanya karena saya harus tinggal di rumah pada sabtu malam, hanya karena saya tidak bisa memakai pakaian yang bagus, hanya karena ini atau hanya karena itu. Saya terkadang lupa bahwa saya lebih beruntung dari banyak orang di luar sana. Saya beruntung masih memiliki kedua orang tua, masih memiliki pekerjaan, dan masih memiliki orang-orang yang peduli kepada saya. Kenapa saya terkadang lupa untuk bersyukur?
Sekarang, apakah saya siap ketika orang-orang terdekat saya akan pergi? Entahlah, saya belum bisa menjawabnya. Tapi pastinya saya sudah harus mempersiapkan hati dan pikiran untuk itu. Bukankah sudah sering diceritakan bahwa dunia ini hanyalah tempat pesinggahan semata?
Saya bersyukur bertemu dengan orang ini. Dia membuatku berpikir tentang apa yang saya miliki. Tentang hidup yang saya jalani. Sekarang saya hanya bisa menjanjikan untuk selalu berada disampingnya selalu. Menjadi teman yang bisa diajak cerita kapanpun. Walaupun dia berada jauh disana. Sedangkan dengan sahabat saya yang satunya? Biarlah dia mencari hidupnya dulu. Karena saya juga pasti tidak mampu untuk melupakan atau mencuekinya, karena dia pernah menjadi penopang dalam satu bagian hidupku. Mari kita syukuri hidup ini dan menjalaninya sebaik mungkin. Sampai hari itu datang dan saat kita tiba untuk kembali kepadaNya.
image diambil dari sini.
Salut buat temanya yg sedang menjalani kemoterapi itu. tentu itu hal yang berat tapi dia tetap tersenyum, sungguh luar biasa, inilah sesungguhnya jiwa2 yang damai, tidak larut dalam kesedihan. LUAR BIASA, salam damaiku selalu. Banyk ternyata pelajaran berharga yg bisa dipetik. mensyukuri apa yg telah ada. makasih atas tulisan ini...