Judul Film : SangPemimpi
Sutradara : Riri Riza
Produser : Mira Lesmana
Produksi : Miles Film dan Mizan Production
Cast : Mathias Muchus, Lukman Sardi, Rieke Dyah Pitaloka, Nugie, Landung Simatupang, Yayu Unru, Jay Wijayanto, Nazril Irham. Serta memperkenalkan Vikri Septiawan (Ikal), Rendy Ahmad (Arai), dan Azwir Fitrianto (Jimbron)
Rasanya masih terbayang di benak ketika setahun yang lalu saya menyaksikan Laskar Pelangi. Ditengah penonton yang antri nonton di hari pertama pemuataran, kami seperti segerombolan rookie yang penasaran akan satu pertanyaan, “akankah Riri Riza mampu menerjemahkan bahasa tulisan menjadi bahasa gambar?”
Jawabannya tentu saja, iya! Laskar Pelangi mungkin film Indonesia terbanyak yang saya saksikan di bioskop. Top score karena saya sampai menyaksikannya 3 kali lewat layar lebar itu. Tidak puas-puasnya saya menikmati suasana alam Belitong, perjalanan Ikal dan kesembilan anggota Laskar Pelangi, suasana haru yang ditawarkan. Semuanya begitu berkesan apalagi ketika itu saya sendiri sedang mengejar mimpi yang bisa dikatakan lumayan mustahil. Mengejar beasiswa ke Amerika.
Sekarang perjalanan Ikal sudah lumayan berubah. Sang Pemimpi merupakan buku kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi milik Andrea Hirata. Kali ini kita akan mengikuti perjalanan Ikal dalam menikmati masa remaja, dengan segala pertanyaan-pertanyaan dan hasrat masa muda, serta keinginan untuk meraih mimpi.
“Jangan pernah takut untuk bermimpi. Seluruh dunia akan membantumu memeluk mimpi itu”
Rasanya seperti mendengarkan sebuah kutipan dari buku Sang Alkemis milik Paulo Coelho. Hayatilah impianmu, bekerja keraslah, niscaya mimpi itu akan terwujud. Rasanya saya tidak perlu menjelaskan lagi bagaimana isi dari buku Sang Pemimpi ini. Mungkin ada diantara anda yang lebih khatam duluan melewati saya dalam menyimak dan menikmati buku ini. Tidak perlulah lagi saya menjelaskan siapa itu Pak Mastar, Pak Balia, atau Zakiyah Nurmala. Semua orang sudah tahu, inilah tokoh-tokoh sentral yang membantu Ikal, Arai, dan Jimbron menghayati mimpi mereka.
Petualangan 3 sahabat ini lebih banyak mengambil setting di daerah Manggar, dimana disitulah letak SMA satu-satunya yang ada di daerah itu. Seberapa jauh? Sangat jauh, sehingga ketiga sahabat ini memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan. Kita juga melihat bagaimana Ayah Ikal yang harus bersepeda dan mengenakan baju safari andalan ketika mengambil rapor milik Ikal dan Arai.
Disini kita akan mengikuti pengalaman Ikal dalam menjaga kepercayaan sang ayah dalam menempuh pendidikan, emosi Arai yangselalu ingin membantu dan membahagiakan orang lain, serta Jimbron yang ingin lepas dari masa lalunya. Setiap orang berhak memiliki masa depan masing-masing.
Bagaimana taste Riri Riza dalam menggarap film ini? Apa tanggapan saya ketika selesai menyaksikannya? Speechless. Terharu. Ya, saya mengakuinya. Ada banyak adegan yang membuat saya berkaca-kaca. Kenapa? Rasanya saya melihat adegan kehidupan saya sendiri dalam film itu. Pergulatan batin yang saya rasakan ketika SMA dulu. Hal ini pun ditangkap dengan baik oleh sang sutradara hebat itu. Dia berkata,
“senikmat apapun kita menikmati ruang berAC, sesungguhnya didalam diri kita masih ada jiwa anak kampong yang tersimpan. Jiwa bebas dan pernah juga memiliki mimpi. Sehingga banyak kejadian di buku Laskar Pemimpi seakan menjadi bagian hidup kita juga dulu. Oleh karena itu kita menyukai cerita semacam ini.”
Pemandangan-pemandangan indah Belitong, suasana pelabuhan yang atraktif, serta suasana sekolah yang begitu kental dengan dunia remaja bisa dijabarkan dengan jelas. Tentu saja kita tidak bisa mengharapkan sebuah buku akan diterjemahkan mentah-mentah, bukankah image of theatre setiap orang berbeda-beda?
Mungkin disinilah letak permasalah ketika sebuah buku difilmkan. Saya dulu begitu marah dan menghina ketika Jomblo di filmkan. Tapi menyaksikan Sang Pemimpi, ada ikatan batin dengan masa lalu kemudian terkuak kembali. Bahwa saya pernah menjadi orang seperti Ikal, Arai, dan Jimbron. Pernah merasa terluka, jatuh cinta, sedih, marah disaat yang sama. Image yang ditawarka kru produksi film ini tidak mengecewakan. Adegan-adegan penting bisa terangkum dengan jelas serta emosi yang tersalurkan bisa didapatkan feelnya. Sama seperti ketika membaca bukunya.
Bagaimana dengan akting para pemain? Percayalah bahwa memang Riri Riza dan Mira Lesmana memiliki Sixth Sense dalam mempercayakan sebuah peran. Buktinya ketiga anak Belitong yang memainkan karakter Ikal, Arai, dan Jimbron versi remaja tidak kelihatan bahwa film ini adalah debut akting mereka. Semuanya terlihat professional dan mampu menghayati karakter yang telah ada. Untuk Lukman Sardi, Mathias Muchus, Rieke Diah Pitaloka, atapun Landung Simatupang rasanya tidak usah lagi kita pertanyakan kualitasnya. Mereka adalah raja dan ratu di dunia itu. Bagaimana dengan Nazriel Irham? Hahahaha. Mungkin agak geli ketika pertama kali melihatnya, tapi sekali lagi satu pesan Riri Riza,
“kami berani mengambil resiko dengan tidak memperkenalkan dia sebagai Ariel Peterpan. Karena kami ingin masyarakat menilai dan menyaksikan Ariel sebagai seorang pemain film. Bukan pemain band dengan segala kepopulerannya”
Walaupun jadinya agak susah sih, karena tiap orang sekali lagi sudah punya bayangan siapa yang cocok memainkan Arai dewasa ini.
Satu hal yang berperan penting dalam film ini juga adalah tata musiknya. Ada Aksan dan Titi Sjuman yang bertanggung jawab menghadirkan suasana Melayu kental dan juga Rhoma Irama yang bernyanyi dengan semangatnya. Great! Atmosfer emosinya menjadi begitu terasa.
Catatan terakhir yang mungkin tersisa, setelah menyaksikan film ini kita akan dipaksa kembali menemukan hubungan antara ayah dan anak, perjuangan antar sahabat, serta kerja keras dalam meraih mimpi. Karena saya percaya, semua mimpi orang bisa terwujud. Maka bebaskan, bebaskan hidupmu!