Ini adalah kali kedua saya mengalami trauma akustik seperti ini. Pertengahan tahun 2006 saya berkenalan dengan trauma ini. Tiba-tiba saja telinga saya menjadi sangat sensitif terhadap semua bebunyian yang agak keras. Bahkan tidak sering saya harus memaksa orang untuk berbicara sedikit lebih keras supaya saya bisa mendengar mereka. Dengan kata lain sedikit congek lah.
Sekarang saya merasakannya lagi. Telinga saya menjadi sangat sensitif terhadap suara yang sangat dahsyat. Setelah menonton Terminator : Salvation, dampak ini makin terasa. Memang sih sepanjang film ini dipenuhi dengan adegan laga dan dentuman suara tembakan, ledakan yang tidak pernah henti-hentinya. Kesemua bebunyian itu menghasilkan tekanan bass yang sangat besar. Untuk standa telingar normal mungkin dampaknya tidak terlalu terasa, tapi untuk saya, sepanjang film tersebut saya harus sedikit mengernyit ketika sound dari film tersebut sangat besar tekanannya.
Saya baru ingat lagi, minggu lalu telinga saya berdenging! Yah, seharian berdenging dan tersumbat di sebelah kiri. Otomatis kepala saya menjadi sedikit berat sebelah. Karena keseimbangan suara yang masuk tidak sama. Yang paling mengganggu adalah suara dengingan itu seolah terperangkap di dalam kepala dan tidak bisa keluar.
Penyebab utamanya? Hehehe. Penggunaan headset yang terlalu lama. Ini memang kebiasaan buruk saya. Sejak SMA saya sudah terbiasa mendengarkan lagu di walkman dengan kekuatan volume diatas rata-rata. Seberapa keras? Bahkan orang yang berada disamping saya sampai tahu lagu apa yang terputar di walkman tersebut. Saya masih ingat peringatannya nunung,
”Bal, hati-hati dengan telingamu. Bisa rusak nanti”
Saya masih menghiraukannya. Toh masih muda kok! Masih mampu! Kebiasaan buruk ini berlanjut ke zaman kuliah. Mp3 player seakan menjadi penyelamat saya di segala situasi. Diangkot, menunggu dosen, sampai bermain dengan hujan. Semuanya saya lakukan dengan telinga yang tersumbat oleh headset. Segala jenis headset pun pernah saya coba. Dari yang kecil, milik handphone Sony Ericson, headset 20 ribuan, sampai headset segede-gede gaban. Volumenya pun diset sampai tidak ada suara dari luar yang bisa masuk ke dalam kepala saya. Hasilnya? Sekarang saya menjadi budi. Budek Dikit.
Tentu saja Budek dikit ini bisa berbahaya. Bisa berubah menjadi budek banyak, sampai budek selamanya. Alias menjadi tuli. Alasannya? Ya itu tadi. Pelan-pelan batas pendengaran kita meningkat. Misalnya dulu kita yang sudah bisa mendengar orang yang bergosip dengan suara berbisik sekalipun, sekarang seolah-olah orang harus menaikkan standar nadanya satu oktaf untuk bisa sampai ke telinga kita. Hal ini yang bisa menjadi parah.
Penggunaan headset yang sering saya lakukan bukan hanya satu-satunya penyebab trauma akustik ini. Keseringan berdiri dekat speaker ketika ada kawinan, keseringan dugem dan mendengarkan musik yang keras bisa menjadikan telinga kita menjadi peka dan bisa terluka dengan dentuman suara-suara tersebut.
Sekarang saya sedang melaksanakan fisioterapi. Karena kata teman saya, dan hasil searching di om google juga, obat untuk trauma ini masih belum ada. Karena telinga satu-satunya alat untuk mendengar. Dan saya mesti bersyukur masih dalam taraf trauma.
Pencerahan dari situs Kalbe,
Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga
akibat adanya energi suara yang sangat besar. (http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_11PengaruhKebisinganthdKesehatanTenagaKerja.pdf/144_11PengaruhKebisinganthdKesehatanTenagaKerja.html)
Saya mesti menghentikan penggunaan headset dulu, minimal selama seminggu. Untuk membiasakan telinga dengan suara-suara yang berasal dari luar. Dengan dentuman yang berkurang juga tentu saja. Selebihnya? Kalau memang masih ingin mendengarkan lagu melalui headset, penggunaannya di bawah 3 jam sehari dan dalam volume yang normal. Artinya, kita bisa mendengarkan lagu, juga masih bisa menjawab ketika ada orang yang mengajak bicara kita.
Setidaknya ini yang bisa saya lakukan sekarang, daripada tuli permanen? Tidak bisa saya bayangkan!