Gravity



Every time I’m ready to leave
Always seem to be
Pullin’ in the wrong direction
Divin’ in with no protection
Man, you can’t keep steerin’ me wrong

(Pixie Lott - Gravity)

Jodoh, dijodohkan, terjodohkan, menjodohkan

Sepertinya blog saya ini sudah memiliki evolusinya sendiri. Tidak terdefenisikan tapi bisa terlihat. Sempat terlantarkan, sempat terlupakan, tapi tetap bisa menjadi sahabat yang bisa diandalkan untuk berbagi cerita. Seperti hidup yang terus mengalir, kali ini ijinkan saya untuk mengenalkan satu fragmen lagi dalam babak kehidupan saya. Terinsipirasi dari catatan Okke dalam blog lajang dan menikah, sepertinya saya akan mulai memasuki fase hidup ini :D

Memasuki bulan kedua di kantor yang baru, tiba-tiba seorang teman dari bagian keuangan bertanya,

“Qko, sudah punya pacar kah?”

Hah? Dari mana kemana maksud pertanyaan ini? Secara setahu saya bahwa sang penanya merupakan istri orang. Lengkaplah saya dengan muka cengengesan tidak tahu mau menjawab apa dari pertanyaan seajaib itu.

Jawaban saya sederhana. Pacar tidak ada, HTS an banyak. Itu jawaban saya dari dalam hati. Tidak mau menyebutkan secara gamblang. Pasalnya waktu itu saya sedang mempertahankan image sebagai pegawai baru dengan akhlak mulia. I’m young, and I’m single. Status apa lagi yang bisa sekeren itu?

Dikemudian hari barulah saya mengetahui alasan dibalik pertanyaan sporadis itu. Ternyata sang teman punya teman lagi yang ingin dikenalkan kepada saya. Berprofesi sebagai suster di lain wilayah Sulawesi Selatan. Niatan awalnya sih cuma diperkenalkan. Tujuan jangka panjangnya? Dijodohkan!



Hah? Pertama, seumur hidup memang rasanya belum ada yang menanyakan hal seserius itu kepada saya. Pacar? Untuk apa? Palingan itu jawab saya. Karena beberapa tahun yang lalu saya memiliki banyak teman (khususnya wanita) yang bisa diajak jalan dan bersenang-senang selayaknya pacaran. Walaupun minusnya kami berhubungan tidak pake hati dan perasaan. Cukup bersenang-senang saja. Dan dulu saya merasa itu cukup. Sekarang? Saya merasa itu kurang. Huhuhuhuhu.

Kedua, dijodohkan? Emang sekarang masih jaman Siti Nurbaya? Saya teringat lagi dengan nasib seorang teman di kantor. Demi mengikuti keinginan ayah tercinta, dia sudah mengikat janji sehidup semati dan siap dinikahkan dengan wanita pilihan ayahnya. Alasannya? Kasihan ayahnya sudah sakit-sakitan. Maunya harus dituruti. Loh, yang mau menikah kan kamu? Bukan ayah kamu?

Ah, ternyata pernyataan saya masih sangat skeptis dan sarkastis mengenai cinta. Apa mau dikata? Saya masih belum berhenti mempercayai bahwa saya termasuk orang yang sulit jatuh cinta. Walaupun salah sendiri, pernah merasa sakit hati dan kemudian merasa trauma untuk menjalin sebuah hubungan yang lain. Pernah sih, ada beberapa orang yang terang-terangan mengirimkan sinyal tertarik. Bahkan dengan bantuan teman-temannya, sang wanita terus melancarkan serangan cintanya. Sikap saya? Malah mengajak salah satu HTS an untuk jalan berdua di depan wanita tersebut, dengan harapan dia mengerti bahwa saya tidak merespon sinyal yang diberikannya. Jahat yah?

Karena menurut saya jodoh itu sudah diciptakan untuk kita di belahan dunia ini. Entah dia terlempar dimana. Hanya butuh waktu dan tempat yang tepat untuk bisa bertemu dengannya. Itu dulu konsep cinta ideal yang ada di kepala saya. Kalau sampai di jodohkan mah, apa dikiranya saya sudah tidak mampu mencari pacar sendiri? Walaupun ternyata jawabannya iya.

Sampai saat ini saya belum memberi jawaban atas pertanyaan teman kantor tersebut. Apakah saya mau dikenalkan dan dijodohkan dengan temannya. Rasanya geli saja. Harus memerlukan bantuan pihak ketiga untuk bisa merasakan cinta. Lantas apa yang harus saya lakukan dengan semua HTS an saya? Hahahaha.

Mungkin akan tiba saatnya dimana saya juga sudah harus berhenti bertualang. Mulai bersikap serius tentang hidup dan menikah. Toh tidak selamanya kita akan menjalani hidup yang seperti ini terus kan?

What will (kills) the radio star?

Saya sedikit tersenyum ketika kemarin membaca beberapa status teman-teman saya di FB. Dari bagaimana kemacetan melanda, hujan, bahkan status terbaru tentang skala percintaan mereka. Satu yang paling menarik perhatianku adalah status dari mantan salah seorang penyiar radio remaja di Makassar. Statusnya seperti ini,

“Sore-sore begini enaknya ngapain yah? Dengarkan saja radio Ma**ma, we have trainee kiddos for you”

Dalam hati saya berkata,

“wah mereka sudah punya anak baru lagi?”.


“Anak baru”. Yah, seperti itulah kami memberikan julukan, nama, atau apalah istilahnya untuk mereka yang mau menjual jiwa mereka menjadi penyiar radio. Saya masih ingat ketika di tahun 2003, saya nekat untuk memasukkan lamaran dan CV saya sebagai penyiar juga. Bersaing dengan hampir 50 orang untuk mengisi satu slot siaran. Hasilnya? Pengalaman yang sangat menyenangkan.



Nah, kembali ke masalah penyiar baru tadi. Saya kemudian berpikir apakah mereka akan sanggup tampil beda dan berjuang sampai memiliki nama? Karena keadaan sekarang berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Apalagi untuk segmentasi yang menyasar anak muda. Kenapa? Segmen ini sangat cair. Mereka sangat mudah disetir seleranya. Apalagi ketika mereka bergabung dalam sebuah geng ataupun sekte. Dimana keseragaman menjadi aturan utamanya.

Seorang penyiar bisa menjadi “local celebrity”. Siapa yang tidak akan menghapal nama kamu ketika kau tidak henti-hentinya berbicara dari pukul 6 pagi sampai pukul 9 pagi? Ataupun dari pukul 7 sampai pukul 10 malam? Seorang penyiar radio bahkan bisa menjadi sahabat yang paling dekat. Memasuki ruang intim pribadimu. Laki-laki mana yang berani memasuki kamar seorang cewek di atas jam 10 malam? Walaupun hanya dalam bentuk suara.

Radio menjadi teman ketika ngobrol bersama teman, menjadi teman belajar, bahkan saya pernah merasakan bagaimana deg-degan nya menunggu request-an saya diputar oleh sang empunya acara. Coba saja menelepon Satu acara di jam prime time (jam pagi, tengah hari ataupun malam hari), entah itu sekedar request ataupun ikut ngobrol, pastilah jarimu akan gemas menekan tombol telepon. Saking banyaknya orang yang ingin menelepon. Apakah hal ini masih berlangsung sama?

Beberapa tahun lalu ketika distraksi perhatian belum sebanyak sekarang, radio bisa menjadi sarana hiburan utama (atau bahkan menjadi media utama) bersanding dengan televisi dan koran. Sekarang? Ada aneka ria jejaring sosial. Dimana ketika beberapa remaja berkumpul, dengan laptop dan koneksi internet, mereka justru lebih nyambung dan nyaman ngobrol dengan fasilitas chat. Aneh. Belum lagi aneka mall yang terus bertambah. Secara tidak langsung ini merubah pola hidup mereka yang lebih banyak bersentuhan dengan dunia luar. Apakah mereka masih memiliki waktu untuk mendengarkan radio?

Ada lagi ada satu juta situs yang tersedia di internet untuk mengunduh lagu secara gratis. Mp3 bajakan di bertebaran dimana-mana.

“untuk apa menunggui sebuah acara di radio hanya untuk mendengarkan sebuah lagu? Toh saya sudah punya lengkap koleksi albumnya.”


Bisa saja pertanyaan itu yang muncul. Ketika era Mp3 bertebaran dimana-mana. Sekarang ketika kita sedang dikuasai pop Indonesia, bahkan televisi pun tidak mau ketinggalan merasakan fenomena ini. Berlomba-lombalah mereka mencari presenter yang cantik, menarik, lucu, yang bahkan tidak jelas mereka melawak ataukah membawakan suatu acara. Semakin terdistraksi lah lagi pendengar radio.

Semakin menariklah bagaimana seorang penyiar (radio) harus bisa terus survive dimasa sekarang. Dimana mereka tidak hanya mengandalkan musik dan lagu terbaru saja sebagai senjata utama. Karena hal tersebut sudah semakin mudah didapat. Mereka harus memilki style dan gaya sendiri. Supaya mereka tetap bisa di notice dan menjadi “local celebrity” berikutnya. Selamat berjuang guys!

Quarter-life crisis, is it okay?

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat mengirimkan sebuah sms. Katanya dia bingung dengan apa yang dia lakukan sekarang. Semuanya terasa sia-sia. Di usia 25 tahun, semuanya terasa membingungkan. Mengenai apa dan bagaimana dia menjalani masa depannya. Posisinya saat ini? Sedang mengambil kuliah S2 di kampus bergengsi di Yogyakarta dengan jalur beasiswa. Sebelum itu dia menolak lamaran untuk bekerja di dalam bank nasional. Itu baru sedikit catatan rekor dalam kehidupannya. Lantas mengapa dia mesti bingung dan takut dengan kehidupannya?



Setahun yang lalu pun saya berada di titik yang sama dengannya. Ketika label “fresh graduate” masih menempel di jidat dengan sangat segarnya. Walaupun saya sudah memiliki posisi dalam sebuah perusahaan sebagai marketing, tetap saja pertanyaan itu terus merongrong saya dari dalam. Mau jadi apa saya setahun kemudian? Bagaimana nasib saya kalau perusahaan ini tiba-tiba colaps? Bagaimana ini, bagaimana itu, sehingga saya merasa tanggung dan tidak nyaman menjalani hari demi hari di posisi tersebut.

Barulah seorang teman yang menyadarkanku tentang apa yang terjadi. Seseorang dengan usia yang dewasa dan pengalaman yang lebih banyak. Apa yang bisa terjadi pada seseorang di umur 24, 25, atau 26 tahun. Quarter life crisis. Sebuah barang dan kosa kata baru dalam kehidupanku.

Kenapa mesti dalam usia seperti itu? Barulah saya mengingat pelajaran dalam konteks psikologi sewaktu mengerjakan sang skripsi tercinta, bahwa usia 16 dan 17 tahun merupakan usia seseorang dalam mencari jati dirinya. Ketika dia memilih dengan siapa dia berteman dan bagaimana dia menjalani hari-harinya.

Nah, lantas di usia 24 inilah seseorang sudah mulai memasuki fase kemapanan. Dimana perbandingan terus terjadi dalam kehidupannya, “kenapa hidup saya tidak seperti miliknya?”, “kenapa kerjaan saya tidak seperti miliknya?”. Ditambah lagi hubungan relasi dengan seseorang, dalam hal ini pacar atau suami, yang mungkin belum dimiliki. Sehingga lengkaplah sudah penderitaan. Dimana dia harus berjuang sendirian untuk mencari kemapanan.

Twenty and thirtysomethings are reluctant (or unable) to save for their futures. Only half are saving for a pension and of those half think they’re not paying enough, according to research by pensions provider Standard Life. (Wikipedia)

Seperti yang dijelaskan oleh nona Wikipedia, sebenarnya masalah yang terjadi sangat sederhana. Ketika kita secara tidak langsung membandingkan hidup kita dengan orang lain. Ketika melihat orang lain sukses, kita langsung merasa bahwa apa yang kita kerjakan tidak ada apa-apanya. Saya mengingat perkataan Mario Teguh, “jangan pernah berjalan dengan menggunakan sepatu orang lain”. Mengapa? Belum tentu sepatu tersebut cocok dengan ukuran kaki kita, belum tentu cocok dengan style kita. Jadi mengapa harus memaksakan diri?

Okelah, rasanya sangat tidak adil saya berkata ini sekarang. Posisi saya sudah berada di titik aman. Memiliki pekerjaan yang bisa menjaminku sampai anak cucu kelak, tapi hey, bukankah sudah saya katakana sebelumnya? Saya juga pernah berada di fase itu dan saya masih cukup kuat untuk melewatinya.

Apakah sang teman tidak sadar ada jutaan orang yang ingin berada di posisinya yang sekarang? Menikmati kuliah di kampus bergengsi? Padahal belum tentu sarjana yang lain memiliki kesempatan yang sama. Bahkan beberapa orang memiliki nasib yang lebih buruk. Sebenarnya sederhana, jangan selalu melihat ke atas, bisa saja lehermu akan pegal dan sakit. Cobalah melihat ke bawah. Melihat kenyataan yang ada dari sudut pandang yang berbeda.

Pada akhirnya bagi mereka yang akan memasuki usia seperti itu, silahkan persiapkan diri. Mau tidak mau dilemma itu pasti terjadi, sehingga ketika saatnya tiba kamu bisa melewatinya. :D

Sometimes silence can seem so loud, There are miracles in life I must achieve, But first I know it starts inside of me (R. kelly - I Believe I Can Fly)

*nb : I know you can handle it sist,

Is it a nightmare for a deaf person?

6:12 PM | Posted by iQko

It’s amazing to think how an ear can recognize so many sounds in this world. Is it a music, a ring bell, people’s talking, or even a foot step. Can you imagine living in this world without hearing any sounds? For some people, it can be so worst, a deaf person can explain it to you. But now there's a Cochlear Implant that can helps the deaf person.



So is it there’s a second chance for them which having the ear problem or deaf? Of course this hope is can be real. You can see it that so many discussion in the university, hospital, or even in the internet that the second chance can be a miracle.

Over 100 years ago, this is an impossible. The human technology is not able to make a scheme or even a medicine which can help the deaf person to hear again. After 1950, Djourno and Eyriès which make the “bionic ears” can be real. They make a clinic that can help the deaf person. And make Cochlear Implant Surgery becoming real.

How this thing is work? Of course you will need this things. A microphone to catch the sound from the environment, a speech processor, a transmitter, a receiver, and a simulator, and an electrode array. It works like a telephone scheme, but the different is, it helps you guide the voice or the sound from the environment to your brain.

You can see that this miracle can be trusted and become the solution for they which have the hearings problem. With Cochlear Implants, from 2002, there’s 49. 000 peoples around the world which have this procedure and help them to hear again. And in 2008, this number is getting bigger and become 150. 000 people around the world. You can see the security of the procedure is getting better to avoid the risk and people are helped using this technology.