Halo apa kabar?

Makassar, 17 Februari 2010

Halo apa kabar? Entah sudah berapa jam sejak sms terakhir kamu saya terima. Ada sesak yang sangat mengentak ketika kau menanyakan itu, “apakah kamu adalah orang yang tepat buat saya?”

Saya selalu berpendapat bahwa “percaya” adalah hal yang paling penting dalam hidup. Mau jadi apa kita kalau sudah tidak dipercayai lagi? Dari dulupun hal yang satu ini yang selalu saya jaga. Tapi untukmu rasanya percaya itu sudah tidak ada lagi untukku. Saya tidak menyalahkanmu, Karena memang apa yang dulu saya lakukan tidak benar. Saya beruntung masih diberi kesempatan kedua. Tapi sepertinya hal itu tidak bertahan lama, apa boleh buat.

Sekarang siapa yang naïf? Sepertinya pertanyaan itu sekarang ditujukan ke saya. Apakah saya pantas memiliki dirimu? Apakah memang kita ditakdirkan bersama? Ada 3 kali kau menanyakan hal itu kepadaku. Dan tampaknya saya pun mulai menanyakan hal yang sama. Apakah memang jalan ini sekarang masih milik kita?



Seorang teman pernah bertanya, “mengapa dia menjadi orang yang sepertinya sangat spesial?”, saya hanya bisa tersenyum kepadanya tanpa dia pernah tahu apa yang membuatmu begitu spesial. Tapi khusus untukmu, saya akan mengatakannya. Mengapa kau sangat berarti.

Apakah kau masih ingat hari itu? Jumat di penghujung November? Berbekal sms dan chat yang terus menerus. Kau yang hendak pulang dan kehujanan. Siapa sih dirimu sampai saya mau care begitu penting? Tapi itulah kau. Segala hukum dasar yang berlaku padaku, langsung luluh lantak. Saya yang tidak terlalu peduli dengan orang-orang disekitarku, berubah menjadi sosok yang berbeda. Hanya kau dan kau yang saya pikirkan.

Bisa saja kau mengatakannya gombal. Ingatkah kau pada malam malam kita bercerita? Tentang kamu, tentang saya, tentang apa saja. Tidak pernah saya seterbuka itu dengan orang lain. Hanya dengan kamu. Tapi sepertinya itu hanyalah cerita di masa lalu saja.

Satu yang tidak pernah bisa aku lupakan adalah kau yang menemaniku di titik terlemahku. Ketika saya bukan siapa siapa dan tidak mempunyai apa apa. Tidak ada yang bisa kujanjikan selain cerita cinta dan bahagia seperti di novel novel itu. Tapi sayangnya hidup ini tidak seperti cerita yang sering kit a baca. Yang selalu berakhir bahagia. Tapi rasanya saya sudah bisa menebak dan mencoba melihat kemana kita akan melangkah. Kau yang menemaniku melalui pengumuman tes, salah satu titik penting dalam hidupku. Kau yang mau menerimaku apa adanya. Bagaimana caranya saya akan melupakanmu?

Dengan segala rindu yang masih tersimpan aku hanya ingin berkata, aku sangat rindu kepadamu. Apakah kau merasa hal yang sama? Entahlah. Karena saat ini aku tak bisa lagi meraba hatimu. Sosokmu menjadi asing. Ketika kau terus bertanya, “apakah kita bisa terus bersama”.

Pada akhirnya kita memang harus mengambil keputusan. Tidak mengambang tanpa ada status hubungan yang jelas. Agar kita sama sama merasa lagi. Mendefenisikan kembali bagaimana bentuk hubungan kita. Apakah kau memang ingin pergi dariku? Apakah memang hadirku sudah tidak bisa lagi menenangkanmu? Apakah memang kita hanya bisa menjadi adik dan kakak. Terikat hanya dengan perhatian tanpa embel embel cinta.

Setidaknya jangan sampai kita menyiksa hidup kita sendiri. Setelah ini saya memberikan keputusan kepada kamu. Apakah memang saya tidak usah menghubungimu lagi. Apakah memang saya tidak bisa berada dalam hidupmu lagi. Entah hanya sebagai kakak atau hanya sebagai sahabat untuk saat ini. Karena kalau bertanya kepada saya, “apakah saya masih mau berada dalam kehidupan kamu?” hanya satu jawaban saya. IYA.

Berarti sampai disinilah saya berdiri. Sambil terus melihatmu meraih mimpi. Mungkin saya hanya bisa menjadi seorang kakak. Menjadi seorang sahabat. Entahlah. Itupun kalau memang kamu masih menginginkan saya ada di dalam kehidupan kamu. Baik baik yah! Saya hanya bisa menulis ini karena tidak sanggup berbicara denganmu di telepon. Inilah perasaanku yang sekarang.

Love you always,
Your lovely bear.
iQko.

Caraka, bukan profesi yang bisa diremehkan.

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah artikel di sebuah tabloid-yang-saya-sudah-lupa-namanya mengenai profil seorang Bapak yang menjadi pengantar surat di Masjid Istiqlal. Apa yang membuatku takjub? Mungkin untuk mesjid di sekitar rumah, tidak membutuuhkan administrasi persuratan yang bisa menyamai kantor walikota. Tapi Mesjid Istiqlal? Singkat kata, sang Bapak bercerita mengenai pengalamannya mengantar surat untuk penceramah, atau undangan buat pejabat-pejabat di Jakarta untuk acara-acara khusus. Dengan modal utama sebuah sepeda motor, dia menembus gang demi gang untuk bisa sampai ke alamat tujuan.

Satu cerita lagi, pekan lalu saya sempat bertemu dengan seorang pak pos. Tepatnya sengaja ketemu karena beliau sudah kebingungan mencari satu alamat rumah. Berbekal wangsit dari saya yang-lumayan-kurang-bisa-dipercaya, akhirnya Pak Pos berhasil mendapatkan rumah tersebut.



Saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang pegawai pos. mungkin karena korespondensi persuratan saya sudah berakhir di jaman SD. Dengan satu sahabat pena dari Sumatra Utara. Urusan untuk ke kantor pos pun sekarang didasari dengan niat yang tidak biasa. Entah untuk membayar kreditan motor atau membayar rekening telepon. Beberapa bulan lalu saya mengunjungi kantor pos dengan ikhlas dan berniat berkirim surat. Surat apa? Apa lagi selain berkas CPNS saya? Hahaha.

Akhirnya kemarin saya diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang Caraka, Pengantar Surat, Pak Pos, ataupun istilah lainnya. Berbekal belasan surat tender yang harus dikirimkan kepada klien, maka melajulah saya bersama Caraka kantor. Loh, kok saya juga ikut? Berhubung surat tender ini isunya sangat sensitive, maka dibutuhkan bukti otentik bahwa surat tersebut memang telah sampai ke alamat dan tangan yang pas. Nah, disitulah peran saya. Memegang kamera dan membuat dokomentasi dari setiap surat.

Perjalanan menembus ujung Timur Makassar, yeah! Daerah Samata, Jipang, dan Minasa Upa, sampai ke bagian utara kota, yaitu daerah Sulawesi dan Banda, daerah Selatan kota Makassar, Cendrawasih, Tanjung dan Kumala, sampai akhirnya masuk ke pertengahan kota lagi. Yang menjadi urat terbesar dari jalan di kota Makassar. Yaitu jalan Pettarani.

Bagian tersulitnya adalah ketika banyak sekali alamat yang sudah berpindah, masuk lorong, penuh dengan jalanan becek (ini musim hujan teman!),sampai harus melakukan cara primitive untuk bisa sampai ke alamat tujuan. Yaitu bertanya sana sini. Sebenarnya pengalaman ini sudah pernah dan biasa saya lakukan. Di komunitas pun, saya yang sering bertugas mengantarkan undangan ataupun proposal ke seluruh penjuru mata angin. Bedanya? Kalau persuaratan kami saling berbagi tugas, sedangkan sekarang harus menghandle satu kota sendirian.

Dulu saya masih sering menganggap enteng profesi Caraka. Sebuah bukti keangkuhan karena berada di posisi lapisan atas. Tanpa pernah berpikir bahwa kami ini semua hanyalah bagian dari satu sistem yang lebih besar. Satu bagian saja yang tidak jalan maka keseluruhan sistem bisa chaos.

Sebuah bagian kecil yang terkadang terlupakan. Bagaimana sebenarnya sebuah posisi juga mempunyai tanggung yang sama. Hanya lingkup kerjanya saja yang berbeda. Mungkin saya beruntung masih bisa mengenyam bangku kuliah. Kalau tidak, posisi saya mungkin juga sama dengan Caraka tersebut.

Akhir-akhir ini saya pun sering sekali mendengar ungkapan walk in my shoes. Kita terkadang memasang stereotype seenak jidat dan tidak pernah membayangkan, bagaimana kalau kita berjalan dengan memakai sepatu orang lain? Atau sedikitlah mencoba bagaimana rasanya menjalani peran orang lain.

Setidaknya kemarin saya mendapat satu pelajaran lagi. Bahwa kita semua sudah memiliki peran dan kisah masing-masing. Tidak usah saling membandingkan antara Caraka, Pegawai ataupun posisi yang lain. Karena masing-masing mempunyai tanggung jawab dan permasalahannya masing-masing. Dan satu yang penting, menjadi seorang Caraka itu tidak mudah. Percayalah!