Satu Dekade Ininnawa, Lomba Resensi Buku dan sebagainya.

Inilah sebagian jejak kami. Sebagai sebuah komunitas, umur 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dalam rangka (ya olo!) peringatan satu dekade komunitas tercinta ini, silahkan ikut Lomba Resensi Penerbit Ininnawa!



Lomba Resensi Penerbit Ininnawa


Peserta

Terbuka untuk mahasiswa [S1 dan sederajat] se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Total Hadiah Senilai Rp. 5.000.000
[Uang Tunai + Paket Buku Ininnawa + Paket Buku Graha Media + Voucher Belanja Buku]


Ketentuan

I. Karya asli; bukan jiplakan.

II. Peserta meresensi buku yang ditentukan oleh panitia dan tim juri, yaitu:

1. Perkawinan Bugis: Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya (Ininnawa, Desember 2009)

2. Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit: Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat (Ininnawa-KITLV Jakarta, November 2009)

3. Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000 (Ininnawa, Mei 2009)

4. Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan (Ininnawa-KITLV Jakarta, Maret 2009)

III. Melampirkan fotokopi kartu tanda pengenal/mahasiswa.

IV. Peserta mengirim via email ke

saintjimpe@gmail.com atau lelakibugis@gmail.com atau m.aan.mansyur@gmail.com


atau mengirim/mengantar langsung ke:

Penerbit Ininnawa
Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E
Makassar 90234


Batas waktu : Karya peserta paling lambat dikirim tanggal 5 Februari 2010 (cap pos).


Pemenang akan diumumkan di acara peluncuran buku pada pukul. 09.00 Wita tanggal 12 Februari 2010, di Komunitas Ininnawa, Jl Perintis Kemerdekaan Km-9 90245.


Pelaksana

Penerbit Ininnawa
Toko Buku Graha Media

How’s life, Mr. Beruang?

Rasanya memang pertanyaan itu yang paling sering berkeliaran dan terucapkan dalam keseharian. Entah itu ditujukan untuk diri sendiri, atau untuk para sahabat. Sekedar bertukar sapa dan bertukar kabar. Bagaimana hidup menyapa kalian saat ini?



Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya, saya hanya bisa menjawab,

“mungkin tidak ada lagi keadaaan yang lebih baik dari ini. Yang paling susah dalam hidup adalah bagaimana bisa bersyukur, sekecil apapun nikmat yang didapatkan. Termasuk pekerjaan”


Ya pekerjaan. Masih banyak orang yang tidak bisa menyangka. Hah? Saya? Berakhir sebagai abdi Negara? Sebuah profesi yang dulunya bahkan sempat saya cela setengah mati. Dengan tekad tidak akan melanjutkan kutukan Pe-En-Es di dalam keluarga. Secara bapak, kakak, dan adek sudah memiliki NIP nya masing-masing.

Tapi begitulah jalan hidup. There’s no one know what scenario that we gonna run tomorrow. Saya selalu ingat apa yang dikatakan oleh seorang Bapak ketika saya melakukan registrasi ulang,

“yang namanya rejeki tidak akan jatuh kemana. Semuanya sudah diatur. Kalau rejeki kita memang hanya secangkir, sekeras apapun kita mengupayakannya untuk menjadi satu ember, tetap ember itu akan tumpah dan hanya menyisakan satu cangkir saja”


Inilah yang paling menyita kehidupanku sekarang. Belajar untuk settle down, tidak melihat ke kanan dan ke kiri lagi. Bagaimana pun juga, hidup inilah yang akan dijalani sampai hari tua. Amin.

My Sister’s Keeper, (semestinya) sebuah pelajaran tentang cinta dan kehidupan.

Siapakah yang akan kau pilih ketika berada dalam poisisi seorang orang tua, anak yang sakit atau anak yang sehat dan dipaksa sakit hanya untuk menyelamatkan nyawa sang kakak. Caranya? Dengan menyumbangkan dan memberikan organ tubuh untuk tetap menjaga kelangsungan kehidupan sang kakak dengan melakukan operasi demi operasi.



Film ini merupakan sebuah saduran dari buku Jodie Picoult dengan judul yang sama. Bagaimana jalan ceritanya? Silahkan simak di postingan yang ini. Kali ini melalui tangan Nick Cassavettes, luapan emosi Anna Fitzgerald dalam menuntut keluarganya sendiri akan kita rasakan selama perjalanan film ini. Tapi sayang seribu sayang, saya mesti mengatakan bahwa film ini GAGAL!!!

Kenapa? Bukan permasalahan interpretasi, saya tahu bahwa film dan buku adalah dua media yang berbeda. Kita tidak boleh membawa imajinasi kita ketika menyaksikan sebuah buku yang difilmkan. Tapi bagaimana kalau ternyata jalan ceritanya terpelintir sedemikian jauh?

Sepertinya inilah yang menimpa film My Sister’s Keeper. Saya langsung merasakan déjà vu dengan film Cat Woman yang dibintangi Halle Berry. Dimana Cat Woman jauh dari gambaran orang-orang. Dan akibatnya apa? Film tersebut dicerca dimana-mana. Beginilah nasib My Sister’s Keeper. Saya sendiri heran, kok film ini bisa-bisanya tidak booming? Mengingat novelnya sangat menguras perasaan dan penuh dengan ending yang tidak tertebak. Sedangkan di filmnya? Holy Shit!!! Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu?

Entah saya mesti menyalahkan siapa, apakah Nick Cassavetes selaku sutradara, Jeremy Leven sebagai penulis scenario, ataukah sang empunya buku, Jodie Picoult sendiri? Ada BANYAK poin yang sangat hilang dalam film ini. Peran-peran kecil namun sangat berpengaruh pada jalan cerita dan emosi yang tertuang.

Okelah, mungkin saya telah mengenal cerita ini pertama kali dari bukunya. Saya pun telah menyebutkan dalam postingan yang ini, bahwa kita harus memilih satu saja, antara menonton filmnya saja, atau membaca bukunya saja. Tapi kenapa saya tidak kecewa pada interpretasi yang dilakukan oleh sutradara film Twilight atau film yang disadur dari buku lainnya?

*emosi mode ON

Dari sisi sinematografi, ada banyak gambar cantik yang disuguhkan. Bagaimana alur yang bisa saja menceritakan saat sekarang, mundur ke belakang semuanya bisa dihadirkan dalam takaran yang pas. Tidak terburu-buru. Cara bercerita yang diambil dari sudut pandang masing-masing tokoh pun bisa terekam dengan jelas. Bagaimana sudut pandang mengenai sesuatu bisa saja berbeda ketika dilihat oleh orang yang berbeda.

Akting para bintangnya pun sangat mengagumkan. Cameron Diaz bermain sangat apik. Memainkan emosi seorang ibu yang berusaha melakukan apa saja untuk menyelamatkan anaknya yang terserang leukemia. Salah satu bintang lainnya yang patut diperhatikan adalah Abigail Breslin. Inilah anak yang diramalkan menjadi the next Dakota Fanning. Dengan kemampuan akting yang sangat bagus.



Cuma sayangnya, peran Anna Fitzgerald (tokoh yang diperankannya) sangat minim. Bahkan semua cerita seolah-olah dititik beratkan kepada Kate Fitzgerald. Tapi sebenarnya bukan itu inti ceritanya. Ada banyak hubungan emosional lain yang sepertinya tidak bisa dieksplor dan dieksekusi yang baik. Hubungan antara Jesse Fitzgerald selaku anak pertama dengan kedua orang tuanya, hubungan antara Anna setelah menuntut kedua orangtuanya sendiri, sampai hubungan ajaib antara Anna dan Kate. Semua ini lolos dari ramuan sang sutradara.

Pada akhirnya saya harus mengatakan bahwa saya sangat kecewa dengan film ini. Berbanding terbalik dengan novelnya. Sepertinya memang menghabiskan waktu dengan imajinasi sendiri lebih bagus ketimbang melihat hasil karya orang lain dan hasilnya sangat berbeda.

Sebuah cerita tentang dia.

Rasanya sudah lama saya tidak bercerita mengenai kisah cinta. Sebuah rasa yang saya pikir telah lama menghilang. Tapi bukankah itu berarti saya melanggar kodrat sebagai manusia? Karena mencinta merupakan sifat dasar yang telah menjadi bawaan dan akan selalu ada.



Setiap saat ada orang yang bertanya, “mengapa tidak menjalin dan membuka sebuah hubungan baru?”,

jawaban saya selalu sama,

“untuk apa? Ada banyak sahabat dan teman yang bisa saya ajak berbagi. Sahabat yang selalu mengerti, sahabat yang selalu ada”

Tapi rasanya jawaban itu hanya berlaku beberapa tahun yang lalu. Disaat semua sepi bisa tertutupi oleh rutinitas di kampus, riuhnya tawa bersama teman, atau lelahnya pikiran karena organisasi. Sepi itu tidak pernah menyeruak ke alam sadar. Toh, walalupun sepi itu datang menyerang, ada seribu alasan untuk langsung menimbunnya dalam-dalam.

Memang selama beberapa rentan waktu yang lalu, selalu ada orang bermain di dalam perasaan. Rasa ingin memiliki dan dimiliki juga ada. Tapi rupanya kecewa masih menjadi jawabanya. Mereka hanya ingin melihat apa yang mereka mau. Tanpa memikirkan beginilah saya apa adanya. Akhirnya mereka hanya menjadikan hati saya sebagai tempat sampah. Yang akhirnya mematikan perasaan ingin mencinta itu.

Sekarang keadaan berkata lain. Semua orang telah berdewasa. Sahabat-sahabat yang bersama saya telah memasuki kehidupannya masing-masing. Kami dulu yang begitu sering berkumpul, tertawa, makan bersama, sudah terpisah. Saya yang menemani mereka menemukan cinta sampai kehilangan cinta juga. Saya yang terus berdiri sendiri. Tanpa sadar ternyata rasa sepi itu semakin mencekam dan membesar setiap hari.

Sampai akhirnya datanglah dia. Yang kedatangannya bersama sang hujan. Saya masih ingat hari itu. Hari jumat, jam 10 pagi. Saya melihat senyumnya. Saya melihat sesuatu yang spesial didirinya. Dan memang benar adanya, hati yang saya kiranya sudah mati, ternyata bisa tergerak melihatnya. Perhatian yang saya pikir hanya bisa saya berikan untuk diri sendiri, mengalir secara alami untuk dia. Memikirkan bagaimana dia menjalani hari, bagaimana dia melakukan semua aktivitas, dan bagaimana kami memulai sebuah hubungan. Semuanya begitu alami, dan saya yakin dialah yang saya tunggu selama ini.

Sebuah perjalanan yang sarat emosi ketika waktu saya habiskan bersamanya. Ada begitu banyak teman dan sahabat yang bertanya,

“siapa yang bisa menaklukkan hati seorang iqko? Yang selalu sinis terhadap semua hal yang berbau cinta?”

Saya hanya bisa mengulum senyum dan menjawabnya, “hanya dia. Dia, dan dia.”

Dia yang menemaniku ketika sedih, dia yang menemaniku ketika gundah meraja. Saya pun berusaha terus mengenal dia dan berusaha menjadikannya sebagai pusat semesta. Ada begitu banyak janji yang terucap, ada begitu banyak kenangan yang telah terbuat.
Rupanya perasaan sepi tidak mau ditinggalkan begitu saja. Dia begitu marah ditinggalkan di pojok kenangan. Hampa dan tidak berlaku lagi. Sang sepi mulai bertindak, memainkan perasaan dan memainkan kenangan.

Pertanyaan itupun akhirnya menyeruak kedalam alam pikiran, “pantaskah saya dicintai sebesar itu? Pantaskah saya menjadi pusat semestanya?”

Kali ini ternyata sepi berhasil menang. Rasa rendah diri dan rasa tidak percaya kembali meraja. Ketakutan akan kehilangan dia setiap hari semakin membesar. Padahal orang bijak selalu berkata, “ketika suatu ketakutan semakin terpikirkan setiap hari, maka hal itu pasti terjadi”. Ternyata hal itu benar. Saya pun melakukan kesalahan itu. Kesalahan yang sama dimasa lalu. Tidak percaya saya pantas dicinta olehnya dan ingin sendiri lagi.

Kini satu cerita sudah berakhir. Meninggalkan sepi sebagai pemenang. Dan saya harus kehilangan dia. Tanpa dia pernah tahu, ada banyak tempat yang terekam tentangnya, ada banyak lagu yang mengingatkan tentangnya, ada banyak kenangan mengenai dirinya. Apakah saya yang salah? Untuk saat ini jawabannya tentu saja iya. Karena saya belum belajar berdewasa. Belajar melawan sepi. Melawan pikiran dalam diri sendiri. Tidak pernah menghargai dia yang begitu sayang dan percaya dengan saya.

Saya masih ingat satu baris kalimat untuknya, “saya akan belajar berdewasa untukmu. Sampai suatu saat kesalahan itu bisa saya perbaiki dan bahagia menjadi milik kita lagi”.

Tidak ada lagi kata kita. Hanya aku dan dia. Saya dan kamu. Tapi saya percaya, semuanya dimulai dari awal lagi. Saya percaya, masih ada terang yang menanti di hari esok.